Pak Bupati, Biarkan Sawah Untuk Petani
Pak Bupati yang terhormat
Desa saya, Gapura Timur, merupakan desa petani. Dengan
jumlah penduduk sekitar 2.500 jiwa, mayoritas penduduknya adalah petani. Lahan
di desa saya kebanyakan tanah tegalan yang cocok ditanami jagung atau kacang
tanah. Sawah di desa saya sedikit. Jumlahnya hanya sekitar 8 hektar hektar. Itu
pun yang banyak tanah percaton, tanah kas desa sekitar 80 persen, hanya 20
persen milik warga.
Sawah yang jumlahnya tidak seberapa itu posisinya di
utara jalan yang menghubungkan Kecamatan dan desa saya dengan kabupaten
Sumenep. Berbeda dengan sawah yang berada di selatan jalan, jumlah sawahnya
sangat luas, membentang sekitar 5 km ke arah selatan dan timur. Tetapi sawah
itu berada di desa lain, meski sebagian pemiliknya berasal dari warga desa
saya. Sejak saya kecil sawah-sawah itu jadi andalan penduduk desa.
Penduduk yang tidak punya sawah biasanya menyewa sawah
percaton kepada pemerintah desa. Di sawah itulah petani menanam padi, jenis
komoditi penting untuk mempertahankan ketahanan pangan penduduk desa. Biasanya
hasil tani padi itu disimpan. Baru kalau mendesak sebagiannya dijual.
Waktu tembakau jadi komoditi primadona sekitar dekade
80-90-an, sawah itu seluruhnya ditanami tembakau pada musim kemarau, baik sawah
di utara maupun di selatan jalan. Ke mana mata memandang, seluruhnya yang
terlihat adalah pemandangan hijau tanaman tembakau. Baru pada musim hujan
ditanami padi. Setelah harga tembakau anjlok, sejak dekade 90-an sawah baik
musim hujan atau kemarau kembali ditanami padi
Selama 1 bulan belakangan ini terdengar isu di sawah
desa saya akan dibangun RSUD Mohammad Anwar 2. Sudah ada survey lahan, sudah
diukur, bahkan menurut Kepala Desa, ketika saya bertemu di acara tahlilan,
sudah ditandatangani. Warga di kampung saya, karena memang yang paling dekat
dengan lahan sawah tersebut, tak pernah secara resmi diberitahu. Tak ada
sosialisasi apapun. Memang, RSUD itu akan berdiri di lahan yang sepenuhnya
tanah percaton. Tetapi tanah percaton itu sejak dulu hingga kini disewa oleh warga
yang tidak punya lahan (landless).
Jika ada sosialisasi saya memastikan akan banyak warga
yang menolak. Secara pribadi saya juga menolak. Lahan sawah itu sangat subur.
Akses air ke sungai juga sangat dekat. Lahan ini termasuk beririgasi. Ketika
dulu ditanami tembakau, harganya lebih mahal dengan tembakau yang ditanam di
sawah selatan jalan.
Sawah itu sejak dulu menjadi karakter kampung saya. Di
situlah anak-anak bermain, mancing, menghalau burung ketika musim padi, bermain
layangan paska panen, cari ikan, dsb. Bagi keluarga, sawah itu menjadi
penyangga kehidupan, sekedar untuk survive melalui pertanian subsistem yang
hanya sepetak itu. Kalau dari arah kota penanda masuk ke kampung saya ya sawah
itu.
Menurut kabar tanah yang akan dialihfungsikan jadi
RSUD sekitar 1-,2 hektar. Seluruh tanah di utara jalan seluas 8 hektar. Berarti
tersisa 5 hektar. Dalam jangka panjang saya tidak yakin lahan tersisa tidak
akan dialihfungsikan. Semua akan ludes, bisa untuk pengembangan RSUD atau
dibeli orang-orang kaya untuk kepentingan bisnis. Atau kalau misalnya tidak
dijual, para petani yang beraktivitas di sisa lahan akan dihantui kecemasan
akibat bahaya limbah RSUD.
Pada hal di luas lahan sawah di utara jalan yang
berjumlah 8 hektar itu menghasilkan 15-20 ton beras setiap panen, dengan jumlah
petani yang memanfaatkannya sekitar 20-30 orang. Tetapi tahukah Anda, bahwa
hasil panen itu untuk menyanggah keluarganya. Jika ada 5 anggota keluarga dalam
satu KK dengan asumsi terdiri dari istri, anak, cucu, dan nenek/kakek maka
jumlah orang yang menerima manfaat dari hasil panen sekitar 100-150 jiwa. Dan
itu akan menjadi makin besar jumlahnya jika dihitung dalam rentang waktu yang
lama, antar-generasi.
Kabupaten Sumenep itu punya perda PLP2B (Perlindungan
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan) yang memberikan jaminan legal formal bagi
upaya perlindungan lahan pertanian yang makin sempit akibat alih fungsi lahan.
Data yàng saya punya, di tahun 2017 setiap tahun lahan pertanian menyusut
hingga 5 persen dari total lahan yang ada di kabupaten Sumenep.
Dalam Perda PLP2B diatur bahwa lahan pangan
berkelanjutan dilindungi dan dilarang dialihfungsikan (Pasal 44 ayat 1). Memang
dalam Perda ada celah dialihfungsikan untuk kepentingan umum. Apalagi yang akan
dialihfungsikan tanah percaton, tentu lebih "mudah" ketimbang milik
pribadi. Tetapi tetap alih fungsi lahan diatur dengan syarat yang cukup ketat.
Dalam Perda PLP2B ini ada 4 syarat alih fungsi lahan
untuk kepentingan umum; dilakukan kajian kelayakan strategis, disusun rencana
alih fungsi lahan, dibebaskan kepemilikan haknya dari pemilik, dan disediakan
lahan pengganti (pasal 44 ayat 3). Dalam pandangan saya kajian kelayakan
strategis harus melibatkan warga, pertanyaannya kira-kira apakah strategis alih
fungsi lahan itu menurut warga? Apalagi alih fungsi itu dilakukan terhadap
lahan yang dilindungi dan dilarang dialihfungsikan.
Soal pengganti lahan yang dialih fungsikan itu juga
berat, karena harus mengganti "paling sedikit tiga kali luas lahan dalam
hal yang dialihfungsikan lahan beririgasi (pasal 46 ayat 1a). Dan lahan di
kampung kami masuk dalam katagori sawah yang beririgasi.
Meski ada celah, tapi soal alih fungsi lahan ini tak
bisa dilihat dari aspek legal formal semata. Pertimbangan-pertimbangan lain
utamanya secara sosial-ekologis, budaya, dan pertimbangan ekonomi subsistem
para petani dan buruh tani layak menjadi dasar alih fungsi lahan ini
digagalkan.
Setidaknya ada 5 alasan mendasar kenapa warga (hasil
bincang-bincang dengan warga) menolak:
1/Lahan yang mau dialihfungsikan menjadi RSUD
merupakan lahan subur, produktif dan menjadi penyangga ketahanan pangan warga
kampung.
Warga keberatan terhadap rencana pendirian RSUD karena limbahnya yang
berbahaya bagi lahan (sawah) tersisa diluar lahan yang akan dialihfungsikan.
Apalagi lokasi pendirian itu juga dekat dengan rumah penduduk.
2/Pendirian RSUD ini akan merubah kultur suatu
kawasan. Selama ini di kampung saya dikenal sebagai kampung pesantren dan
kawasan pendidikan. Jarak lokasi rencana
pembangunan RSUD dengan pesantren sekitar 100-200 meter.
3/Saya meyakini, kultur kampung yang guyub, saling
dukung, saling gotong dengan model keberagamaan orang-orang kampung akan
mengalami perubahan. Kehidupan akan lebih formal, kering, individualis, dan
transaksional.
4/Ancaman pencemaran air dan krisis ketersedian air.
Ancaman pencemaran air muncul dari limbah kimia rumah sakit. Ancaman krisis air
muncul jika kebutuhan air melakukan pengeboran sendiri. Di musim kemarau kadang
air susut. Kebutuhan air bagi warga kampung jika dalam kondisi susut menjadi
terganggu.
5/Masih banyak lahan di desa lain dan kecamatan lain
yang tidak produktif dan bukan lahan pangan yang bisa menjadi alternatif lokasi
rencana pembangunan RSUD.
Karena itu pak Bupati, biarkan sawah untuk petani. Di
sawah itu ada sejarah, budaya, dan kehidupan para petani dalam wujud tawa,
senyum, keuletan, ketabahan, kerja
keras, syukur dsb. Begitu pun di situ ada cerita anak-anak yang man layangan,
jaga burung, atau sekedar menikmati pemandangan di sore hari. Beruntung kita
punya petani pak, yang sering kita lupakan, bahkan ketika kenyang sekalipun.
Salam
Gapura Timur, 16 Mei 2025
NB: Foto lahan yang mau dibangun.