Menyigi Cinta yang Terluka dan Mata yang Membisu
Analisis Tematik, Estetika, dan Konteks terhadap Dua
Puisi Lalampan.com
Pendahuluan
Puisi merupakan medium komunikasi emosional yang
kompleks, memungkinkan pembaca menafsirkan pengalaman batin penyair dalam
berbagai spektrum rasa. Dua puisi yang dimuat dalam situs sastra Lalampan.com
karya Muhtadi ZL dan Zam’sta, masing-masing berjudul “Jarak yang Kukejar”
dan “Mengeja Mata Kekasihku”, hadir dengan kekhasan gaya dan kegelisahan
yang mendalam. Keduanya mengangkat pergulatan batin mengenai jarak, cinta, dan
pencarian makna dalam relasi personal.
Bagian I: Muhtadi ZL dan Jarak Emosional
Tema Kerinduan dan Relasi yang Retak
Puisi “Jarak yang Kukejar” bukan sekadar
berbicara tentang rindu yang biasa. Ada semacam kegelisahan eksistensial yang
timbul akibat keterputusan relasi antara “aku” dan kekasih. Jarak bukan hanya
geografi, tetapi merupakan jurang emosional yang tak lagi bisa dijembatani.
Kata-kata seperti “senyummu tiba-tiba tanggal” menunjukkan betapa
hubungan itu telah mengalami kerusakan mendadak, seakan semua keindahan yang
ada sebelumnya runtuh tanpa aba-aba.
Struktur Berbingkai
Puisi dalam link ini meliputi judul:
- Tak Bisa Kukejar
- Segala yang Kuingin
- Sudikah Kekasih
- Jarak yang Mengekang
Masing-masing bagian membentuk perjalanan emosi: dari
kehilangan, harapan untuk kembali terhubung, permohonan penuh kerendahan hati,
hingga keputusasaan akibat kungkungan jarak.
Struktur berbingkai ini menyerupai narasi patahan
waktu, mirip dengan cara kerja ingatan—terpotong, meloncat, namun tetap saling
terikat dalam satu benang merah: kesedihan.
Simbolisme dan Diksi yang Intens
Simbol-simbol keseharian seperti senyum, dada, surat,
dan bayang digunakan bukan sebagai hiasan semata, melainkan sebagai alat untuk
menegaskan luka batin. “Dadaku tekoyak-koyak” adalah frasa yang penuh
rasa, merujuk pada penderitaan yang nyaris fisik akibat kehilangan.
Ada juga dimensi performatif, ketika sang penyair
mengatakan “kutulis puisi untukmu”, yang menunjukkan bahwa puisi sendiri
adalah bentuk pertahanan terakhir untuk tetap terhubung.
Latar Kultural Madura
Meski ditulis dalam bahasa Indonesia, ada rasa khas
Madura yang menyelusup halus. Bentuk retorika yang melankolis, serta perasaan
cinta yang direpresentasikan secara patuh, menunjukkan warisan budaya
patriarkal yang lembut namun kuat: cinta tak selalu harus diungkap dengan gegap
gempita, cukup dengan pengabdian sunyi dan penantian panjang.
Bagian II: Zam’sta dan Dunia Mata yang Tak Terbaca
Eksplorasi Visual sebagai Pintu Batin
Puisi “Mengeja Mata Kekasihku” adalah upaya
membaca dunia batin kekasih melalui matanya. Mata dalam puisi ini bukan sekadar
alat melihat, tetapi ruang tafsir, kitab rahasia, dan lubuk terdalam dari cinta
yang tak terucap
Kalimat seperti “rezim perasaanmu yang entah”
mengaburkan batas antara cinta dan ketakutan. Istilah “rezim” memberi kesan
bahwa cinta sang kekasih terasa memerintah namun tidak bisa dipahami.
Gaya Bahasa Surealis dan Filosofis
Zam’sta memadukan antara realisme magis dan
eksistensialisme. Kata-kata seperti “kukemas kata-kata dengan sehelai cahaya
bulan” atau “aku gugup mengeja matamu” adalah contoh dari pencarian
makna dalam ruang yang abstrak dan tak terjangkau. Mata menjadi kode yang tak
bisa diselesaikan, semacam enigma yang tak selesai dalam kamus rasa.
Perempuan sebagai Teka-Teki
Jika dalam puisi Muhtadi kekasih hadir sebagai entitas
yang menjauh, dalam puisi Zam’sta ia hadir sebagai simbol yang mendominasi.
Bukan hanya sosok, tetapi dunia. “Di matamu langit selalu muram”
menegaskan bahwa ketidakhadiran kejelasan dalam diri kekasih melahirkan suasana
hati yang sendu sepanjang waktu.
Pengaruh Sufistik dan Imajinasi Lokal
Dalam beberapa bagian, puisi ini seolah berbicara
dalam kode-kode tasawuf modern. Penyair mengembara dalam pengertian cinta bukan
hanya sebagai rasa, tetapi sebagai jalan: jalan kesunyian, kehampaan, dan
pencarian yang tak selesai. Hal ini mengingatkan kita pada puisi-puisi
penyair Persia seperti Rumi, atau Chairil Anwar dalam versi paling mistiknya.
Bagian III: Komparasi Estetika dan Tematik
Unsur |
"Jarak yang Kukejar" |
"Mengeja Mata Kekasihku" |
Tema utama |
Kerinduan dan kehilangan |
Misteri cinta dan keterasingan |
Gaya bahasa |
Liris dan ekspresif |
Metaforis dan filosofis |
Struktur |
Tersegmentasi (berbingkai) |
Naratif mengalir |
Simbol utama |
Senyum, surat, bayangan |
Mata, cahaya, bulan |
Nada |
Melankolis, harap cemas |
Kontemplatif, gelisah |
Kedua puisi ini sama-sama menempatkan cinta sebagai
medan perang batin. Namun perbedaan mendasarnya adalah: Muhtadi ZL lebih
berangkat dari relasi interpersonal nyata yang berjarak, sedangkan Zam’sta
mengangkat cinta sebagai ranah ketidakterpahaman, bahkan oleh penyair itu
sendiri.
Bagian IV: Relevansi Sosial dan Kultural
Realitas Emosional Anak Muda Madura
Kedua penyair adalah bagian dari generasi muda Madura
yang lahir di tengah perubahan sosial. Cinta dalam puisi-puisi ini bukan
sekadar asmara picisan, tapi terikat pada kondisi sosial-kultural seperti:
- Tekanan
relasi jarak jauh
- Peran
sosial yang membatasi ekspresi cinta
- Internalisasi
kesetiaan sebagai bentuk pengorbanan
Tradisi Sastra Lisan dan Tulisan
Gaya puitik keduanya menunjukkan keberlanjutan dari
tradisi lisan yang puitik di Madura. Ada kesenyapan dan kesederhanaan dalam
diksi yang tetap menjaga daya ledak emosional puisi. Bahkan dalam kesunyian
kata-kata, terdapat gelora yang mendalam.
Penutup: Puisi sebagai Ruang Pengakuan dan Kesunyian
Jarak yang Kukejar dan Mengeja
Mata Kekasihku adalah dua karya yang menjadi saksi bahwa puisi tidak pernah
mati dalam menghadirkan perasaan terdalam manusia. Muhtadi ZL dan Zam’sta telah
menunjukkan bagaimana cinta, kehilangan, dan pencarian makna dapat diolah
menjadi bahasa yang menyayat dan menyadarkan. Keduanya berhasil memanfaatkan
puisi sebagai ruang pengakuan, kerinduan, bahkan perlawanan terhadap sunyi itu
sendiri.