Menjaga Akar di Era Digital: Santri Pragaan dan Kajian
Kesantrian
Pragaan, Sumenep—lalampan.com.1447— Senin pagi itu, aula
Lembaga Pendidikan Islam Nurul Ihsan di Desa Sentol Daya tampak berbeda.
Meja-meja berjajar rapi, suasana antara kegiatan keagamaan dan kelas
intelektual bersatu dalam satu ruang. Para santri dan guru duduk menyimak
khidmat — bukan hanya sebagai pendengar, tetapi sebagai calon penentu inti
identitas mereka sendiri dalam gelombang zaman.
Inilah saat LDNU Pragaan mempersembahkan “Kajian Kesantrian”
sebagai upaya menyatukan tradisi keagamaan ala Nahdlatul Ulama (NU) dengan
tantangan kehidupan modern. Tema besar kegiatan ini: “Mengawal Indonesia
Merdeka Menuju Peradaban Dunia” — sebuah jembatan antara nilai tradisi dan
kebutuhan zaman.
Antara Dakwah dan Benteng Moral
Menurut Gus Hamidi, pengurus LDNU Pragaan, kajian ini adalah
langkah strategis:
“Kajian ini bertujuan agar para santri tidak tercerabut dari
akar tradisi dan ajaran Aswaja, meskipun hidup di era digital dan globalisasi.
Santri harus tetap menjadi benteng moral bangsa.”
Download Kamus Bahasa Madura Sekarang. Gratis!!!
Bagi beliau, kegiatan semacam ceramah biasa tidak cukup.
Kajian Kesantrian diharapkan menjadi ruang dialog intelektual dan ruhani,
tempat santri bukan sekadar menerima petuah, tetapi menguji dan merumuskan
nilai-nilai mereka sendiri — dalam bingkai Ahlussunnah wal Jamaah an-Nahdliyah
(Aswaja).
Apa yang ditawarkan LDNU bukan sekadar menjaga tradisi. Ia
juga ingin menyiapkan santri agar tangguh dalam era digital yang penuh godaan:
media sosial, informasi tanpa filter, tekanan gaya hidup. Kajian, diskusi, dan
dialog menjadi instrumen perlindungan — “benteng moral” yang bisa
mempertahankan akar spiritual.
Dua Pekan Perjalanan Penguatan Jati Dir
Acara ini tidak akan berlangsung sekali dua kali. Menurut
rencana, rangkaian Kajian Kesantrian akan berjalan selama dua pekan,
menyambangi lembaga dan pesantren di wilayah Pragaan dan sekitarnya.
Setiap sesi akan dikemas sedemikian rupa — tidak hanya ceramah
panjang yang sepihak, tetapi dialog, tanya jawab, dan diskusi kritis. Santri
dan guru ditempatkan pada posisi aktif: tidak sekadar mendengarkan, tetapi juga
refleksi bersama.
Metode ini penting, karena pendekatan otoritatif saja tidak
memadai di era modern. Santri perlu percaya pada akal, merasakan relevansi
ajaran dalam konteks mereka sehari-hari, dan menginternalisasi nilai-nilai NU
sebagai bagian dari jati diri — bukan sekadar warisan eksternal.
Menarik Garis Keseimbangan: Tradisi dan Modernitas
Kajian semacam ini menjawab dilema yang kerap dihadapi
pesantren: bagaimana menjaga identitas keagamaan tradisional ketika santri
“dijemput” dunia modern— gadget, arus informasi tanpa batas, nilai-nilai
global, dan tren sosial yang kadang bertabrakan dengan nilai keislaman lokal.
LDNU Pragaan menegaskan bahwa santri tidak boleh tercerabut.
Mereka harus dapat berdialog dengan zaman tanpa mengorbankan akar spiritualnya.
Dalam perkataan Gus Hamidi, santri mesti menjadi “penjaga moral, spiritual, dan
kultural bangsa.”
Artinya: sebuah keseimbangan yang “tidak mutlak satu sisi
saja.” Santri bisa merangkul ilmu pengetahuan, teknologi, komunikasi global —
tetapi dengan filter nilai, kebijaksanaan, dan akar tradisi yang kuat.
Harapan yang Diusung: Jati Diri yang Kuat, Masa Depan yang
Tangguh
Dalam benak panitia, harapan besar tertanam di setiap sesi
kajian: agar generasi santri di Pragaan dan sekitarnya tidak kehilangan diri.
Bahwa mereka akan tumbuh menjadi insan yang kuat intelektualnya, kokoh
spiritualnya, dan harmoni sosialnya.
Ketika arus modernisasi semakin deras, LDNU Pragaan menempatkan kajian ini sebagai salah satu perisai utama. Jika santri mampu menjawab tantangan zaman dari dalam dirinya sendiri — bukan dari luar paksa — maka akar Aswaja dan nilai-nilai pesantren itu akan tetap hidup, relevan, dan dinamis.
