Mengapa Indonesia Harus Belajar dari Jepang dalam Menghargai
Guru?
ESAI || Lalampan.com || 1447. Dalam kebudayaan Jepang terdapat sebuah prinsip kolektif yang
sederhana, tetapi amat dalam: masyarakat yang baik adalah masyarakat yang
menghormati orang yang berjasa membentuk moral dan karakter. Prinsip itu tidak
sekadar menjadi semboyan, melainkan diwujudkan dalam kebijakan, perilaku
sehari-hari, dan sistem sosial yang kokoh. Guru, dalam pandangan bangsa Jepang,
bukan hanya pendidik yang mengajarkan keterampilan baca tulis hitung, melainkan
arsitek moral bangsa, penjaga tata krama (reigi), dan penghubung
generasi masa lalu dengan masa depan.
Di Indonesia, guru sering disebut sebagai pahlawan tanpa
tanda jasa. Julukan itu terdengar indah, seolah memberikan penghargaan
setinggi langit. Namun, bila ditelisik lebih dalam, sebutan tersebut kerap
berhenti pada tataran retorika. Dalam praktik sehari-hari, masih banyak guru
yang gajinya jauh dari layak, status sosialnya dipandang rendah, bahkan
terkadang profesinya dianggap sekadar pilihan terakhir ketika karier lain gagal
ditempuh. Di sinilah letak ironi: sebuah bangsa yang besar selalu lahir dari
tangan-tangan guru, tetapi bangsa ini seringkali abai memberikan penghargaan
nyata.
Jepang: Guru Sebagai Pilar Peradaban
Penghormatan terhadap guru bukan hanya soal nominal gaji.
Lebih penting lagi adalah budaya kolektif masyarakat Jepang yang menempatkan
guru dalam posisi istimewa. Seorang guru dianggap hampir setara dengan orang
tua. Ketika anak berbuat salah di sekolah, orang tua akan datang dengan penuh
hormat kepada guru, meminta maaf, dan bersama-sama mencari jalan keluar. Tidak
ada sikap “menyalahkan guru” atau “mendikte guru” sebagaimana kerap terjadi di
Indonesia. Guru dipandang memiliki otoritas moral dan keilmuan yang tidak bisa
dipermainkan.
Mengapa hal itu bisa terjadi? Karena sejak lama Jepang
memahami bahwa guru tidak sekadar mengajarkan ilmu pengetahuan, tetapi juga
membentuk reigi, tata krama, dan sikap hidup yang menjadi fondasi
masyarakat. Guru menanamkan rasa hormat, kedisiplinan, dan tanggung jawab —
nilai-nilai yang menjadikan Jepang salah satu bangsa paling maju, meski sumber
daya alamnya terbatas.
Indonesia: Retorika Tanpa Praktik
Indonesia memiliki tradisi luhur dalam memuliakan guru.
Pepatah Jawa mengatakan guru digugu lan ditiru — guru dipercaya dan
diteladani. Dalam tradisi pesantren, ketaatan santri pada kiai adalah bentuk
pengakuan bahwa ilmu dan adab tidak bisa dipisahkan. Dalam khazanah Melayu
maupun Madura, guru juga ditempatkan pada posisi mulia.
Namun, pada praktiknya, penghargaan itu semakin tergerus oleh
modernisasi yang serba pragmatis. Banyak guru honorer yang hanya menerima gaji
ratusan ribu rupiah per bulan, jauh dari standar hidup layak. Tidak sedikit
guru yang harus mencari pekerjaan sampingan demi memenuhi kebutuhan keluarga.
Di sisi lain, penghormatan sosial terhadap guru juga melemah. Ada orang tua
murid yang dengan mudah mengancam atau melaporkan guru hanya karena merasa
anaknya “disalahkan.” Relasi guru dan murid yang seharusnya penuh penghormatan
seringkali tergantikan dengan pola transaksional: guru dianggap sekadar
penyedia jasa, sementara orang tua adalah konsumen.
Kondisi ini jelas berbahaya. Sebuah bangsa tidak bisa berharap
memiliki generasi beradab jika mereka yang membentuk adab justru diperlakukan
seadanya. Pendidikan akan terjebak dalam rutinitas formal: masuk kelas, memberi
nilai, meluluskan, tanpa menyentuh inti terdalam dari pendidikan itu sendiri —
yakni pembentukan manusia yang utuh, berkarakter, dan bermoral.
Belajar dari Jepang: Membangun Budaya Kolektif
Apa yang bisa dipelajari Indonesia dari Jepang? Pertama,
kesadaran bahwa penghargaan kepada guru harus bersifat kolektif, bukan parsial.
Pemerintah memang wajib memberikan gaji dan fasilitas layak, tetapi masyarakat
juga harus membangun budaya menghormati guru. Ketika orang tua bersikap hormat
kepada guru, anak-anak akan belajar secara otomatis untuk menghargai mereka
yang mengajar. Ketika media massa menampilkan guru dengan penuh martabat,
masyarakat akan menempatkan profesi guru pada posisi terhormat.
Kedua, penghormatan terhadap guru harus terwujud dalam
kebijakan konkret. Tidak boleh lagi ada guru yang bekerja penuh waktu tetapi
hanya digaji ratusan ribu. Standar gaji minimal guru harus setara atau bahkan
di atas upah minimum regional, karena mereka bukan sekadar pekerja, melainkan
pembentuk generasi. Sistem pelatihan berkelanjutan juga harus diberikan, agar
guru tidak hanya bertahan tetapi terus berkembang.
Ketiga, Indonesia perlu menghidupkan kembali kesadaran bahwa
guru adalah pembawa budaya. Guru tidak hanya mengajarkan matematika, bahasa,
atau sains, tetapi juga menjadi penjaga nilai lokal. Seperti yang kini
dilakukan sebagian sekolah dengan mengajarkan bahasa daerah — misalnya bahasa
Madura — sebagai basis adab dan akhlaq. Dengan cara itu, guru tidak sekadar
menjadi pengajar mata pelajaran, melainkan penanam identitas dan jati diri
bangsa.
Dari Retorika Menuju Aksi
Menghargai guru bukan sekadar memberi ucapan manis pada Hari
Guru Nasional. Menghargai guru berarti menjadikan profesi itu prestisius,
bermartabat, dan sejahtera. Jepang berhasil menunjukkan bahwa penghormatan
terhadap guru adalah investasi jangka panjang yang tak ternilai harganya.
Mereka yang dididik dengan penuh adab, akan tumbuh menjadi masyarakat yang
berdisiplin, jujur, dan berdaya saing tinggi.
Indonesia memiliki potensi luar biasa. Budaya menghormati guru
sebenarnya sudah tertanam dalam tradisi, hanya perlu dihidupkan kembali dengan
keseriusan kolektif. Pemerintah, masyarakat, dan dunia pendidikan harus
bersepakat: guru bukan sekadar pekerja, melainkan pilar bangsa.
Jika bangsa ini ingin melahirkan generasi yang beradab,
kreatif, dan bermoral, maka sudah saatnya kita berhenti memperlakukan guru
sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa.” Justru karena jasa mereka tak terhitung,
penghargaan yang nyata harus diberikan. Gaji yang layak, penghormatan sosial,
dan dukungan penuh adalah bentuk nyata dari kesadaran bahwa guru adalah cahaya
yang menuntun bangsa.
Dan seperti kata pepatah Jepang, guru adalah penuntun abadi.
Indonesia harus belajar dari sana, agar guru kita kembali dimuliakan, bukan
sekadar dipuji.
Mat Toyu
Dosen STIDAR