Mengobati Hati Gen Z: Pelajaran dari Hadits "Segumpal
Daging"
Halo, teman-teman. Sebagai penulis, saya merasa gelisah
melihat apa yang terjadi di sekitar kita, terutama pada generasi saya dan
kalian—Gen Z. Kita sering melihat perilaku yang mengkhawatirkan dan mendengar
cerita tentang kesehatan mental yang memburuk. Banyak yang bilang ini semua
karena media sosial, tuntutan hidup yang tinggi, atau kurangnya dukungan.
Namun, saya yakin masalahnya jauh lebih dalam.
Saya ingin mengajak kalian merenung sejenak tentang sebuah
hadits Rasulullah ﷺ yang sangat relevan:
"Sesungguhnya dalam jasad ada segumpal daging. Jika ia baik, maka seluruh
jasad akan baik. Jika ia rusak, maka seluruh jasad akan rusak. Ketahuilah, ia
adalah hati." Hadits ini seolah menjadi kunci untuk memahami fenomena yang
sedang kita hadapi.
Mengapa Kita Lebih Suka Mengkonsumsi Junk Food untuk Hati?
Mari kita jujur. Kita hidup di era yang serba instan. Scroll
TikTok, likes di Instagram, dan notifikasi yang tidak pernah berhenti—semua itu
seperti "obat" sementara. Kita sering merasa takut ketinggalan (FOMO)
dan terus-menerus membandingkan diri dengan orang lain. Perilaku-perilaku ini,
jika kita tarik akarnya, berasal dari satu tempat: hati yang kosong
Hati kita, ibaratnya, butuh makanan yang bergizi. Tapi, kita
malah memberinya "junk food" digital yang hanya mengenyangkan sesaat.
Kita mencari pengakuan dari orang lain, mengejar kesenangan yang fana, dan
sering kali terjebak dalam pergaulan yang salah. Semua itu adalah cerminan dari
hati yang sakit.
Bagaimana Hati yang Sakit Merusak Perilaku dan Kesehatan
Mental Kita?
Hadits Nabi jelas menyebutkan, jika hati rusak, "maka
seluruh jasad akan rusak." Frasa "seluruh jasad" tidak hanya
merujuk pada kesehatan mental, tetapi juga pada perilaku dan akhlak kita
sehari-hari.
Sakitnya hati dapat termanifestasi dalam dua cara:
1. Jasad Batin (Kesehatan Mental):
Dulu, kita sering menganggap depresi dan kecemasan sebagai
"penyakit orang kaya" atau sesuatu yang jauh dari kita. Tapi,
sekarang, hampir semua dari kita punya teman, saudara, atau bahkan diri kita
sendiri yang merasakannya. Dalam pandangan hadits ini, gejala-gejala itu
bukanlah semata-mata masalah di kepala, melainkan manifestasi fisik dari hati
yang lelah dan terluka secara spiritual. Bayangkan hati kita sebagai sebuah
wadah. Ketika kita terus-menerus menumpuk kekhawatiran, perbandingan, iri, dan
kesombongan—yang dalam Islam sering disebut sebagai penyakit hati—wadah itu
akan penuh dan akhirnya tumpah. Tumpahan itulah yang kita rasakan sebagai
kelelahan mental, burnout, dan depresi.
2. Jasad Lahir (Perilaku dan Akhlak):
Hati yang rusak juga akan tercermin dalam perilaku yang kita
lakukan. Ia bisa termanifestasi dalam berbagai perilaku negatif yang kita lihat
pada Gen Z, seperti:
a. Sikap Apatis dan
Hilangnya Empati: Hati yang dipenuhi dengan masalah pribadi akan sulit untuk
peduli dengan orang lain. Alih-alih membantu, kita menjadi lebih fokus pada
diri sendiri.
b. Kecanduan dan
Perilaku Impulsif: Hati yang mencari kepuasan instan akan mendorong kita untuk
melakukan hal-hal impulsif seperti belanja berlebihan, kecanduan gawai, atau
bahkan mencoba hal-hal yang berbahaya, semua demi mengejar dopamine sesaat.
c. Lisan yang Tidak
Terjaga: Hati yang penuh dengan amarah, iri, dan kebencian akan tercermin pada
perkataan. Kita cenderung mudah menghakimi, menyebarkan hoax, atau berkomentar
negatif di media sosial.
Bagaimana Cara Kita Mengobati Hati?
Jika masalahnya ada di hati, maka obatnya pun harus sampai ke
sana. Hadits ini bukan hanya mendiagnosis, tetapi juga memberikan resep. Kita
butuh dopamine yang hakiki, yang membuat hati kita tenang dan bahagia secara
permanen, bukan sekadar kesenangan duniawi yang sebentar saja.
Bagaimana caranya?
1. Kembali Mengingat
Allah.
Ini adalah langkah paling fundamental. Al-Qur'an mengingatkan
kita dalam surah Ar-Ra'd ayat 28: "(Yaitu) orang-orang yang beriman dan
hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan
mengingat Allah hati menjadi tenteram." Mengingat Allah melalui zikir,
salat yang khusyuk, dan membaca Al-Qur'an adalah nutrisi utama untuk hati kita.
Dengan zikir dan mengingat-Nya, Allah juga berjanji akan mengingat kita. Dalam
sebuah hadits qudsi, Allah berfirman, "Jika ia mengingat-Ku dalam dirinya,
Aku pun akan mengingatnya dalam diri-Ku." Ini adalah ikatan yang paling
kuat, yang tidak akan pernah pudar, memberikan ketenangan yang tidak bisa
dibeli dengan apapun.
2. Membatasi Racun bagi
Hati.
Sama seperti kita menjauhi makanan beracun, hati kita juga
butuh perlindungan. Kurangi scroll media sosial yang memicu rasa iri. Pilih
lingkungan pertemanan yang positif. Jauhi hal-hal yang dapat mengeraskan dan
merusak hati kita.
3. Mencari Tujuan Hidup
yang Lebih Besar.
Daripada mencari validasi dari likes, temukan makna hidup yang
lebih dalam. Berkontribusi untuk orang lain, membantu sesama, atau mengabdi
pada hal-hal yang positif akan memberi kita kepuasan batin yang jauh lebih
besar daripada kesenangan sesaat.
Penutup
Hadits tentang hati ini adalah pengingat yang kuat bagi kita
semua. Masalah yang kita lihat di permukaan yaitu perilaku buruk dan kesehatan
mental yang terganggu, adalah cerminan dari sesuatu yang lebih fundamental di
dalam diri kita. Jadi, daripada terus-menerus mencari solusi di luar, mari kita
mulai dari dalam, dengan memperbaiki hati kita. Mari kita berani untuk menjadi
generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga sehat secara
spiritual.
Fathur Rosi yang biasa dipanggil "Rozi" adalah Mahasiswa PMI STIDAR (Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah Raudlatul Iman) Ganding Sumenep.