Festival Sapparan Budaya #4: Merawat Tradisi, Menghidupkan Spirit Ziarah

festival-sapparan-budaya-#4 NU Lesbumi-Madura


Festival Sapparan Budaya #4: Merawat Tradisi, Menghidupkan Spirit Ziarah

Sumenep, 25 September 2025 — Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) PCNU Sumenep bersama Lesbumi MWCNU Gapura kembali menyalakan api tradisi melalui gelaran Festival Sapparan Budaya yang kini memasuki tahun keempat. Dengan mengusung tema “Nye’-Konye’ Gunong”, festival ini bukan sekadar pesta budaya, tetapi ikhtiar kolektif untuk merawat warisan leluhur, memperkuat identitas lokal, dan meneguhkan hubungan spiritual masyarakat Madura dengan alam, sejarah, dan agamanya.

Rangkaian acara sudah dimulai sejak 30 Agustus 2025 dengan agenda bedah buku di Aula MWCNU Gapura. Diskusi buku tersebut menjadi pintu masuk, membuka kesadaran generasi muda bahwa tradisi bukanlah beban masa lalu, melainkan sumber inspirasi dan energi kebudayaan. Dari sana, festival berlanjut hingga hari ini, 25 September, dengan kegiatan Silatur Arwah berupa ziarah ke Asta Gung Rombu di Desa Gapura Barat, sebuah makam keramat yang menjadi simpul spiritual masyarakat setempat.

Ziarah sebagai Spirit Kebudayaan

Suasana Asta Gung Rombu dipenuhi banyak peziarah. Doa-doa dilantunkan, tahlil bergema, dan wajah-wajah yang hadir memancarkan kekhidmatan. Di bawah rindangnya pepohonan, ziarah tidak hanya menjadi ritual religius, tetapi juga ekspresi kebudayaan yang sarat makna.

Dalam sambutannya, KH. Alwi, tokoh MWCNU Gapura, menekankan pentingnya melanjutkan kegiatan ini. Menurutnya, Festival Sapparan Budaya harus menjadi gerakan budaya yang berkesinambungan, bukan sekadar agenda seremonial tahunan.

“Saya sangat mengapresiasi kegiatan ini. Harapan saya, ada tindak lanjut nyata sehingga festival ini benar-benar menjadi wadah bagi masyarakat untuk mengenal, mencintai, dan merawat budayanya sendiri,” tutur H. Alwi.

Sementara itu, K. Hasan, Sekretaris PCNU Sumenep menguraikan pandangan yang lebih luas. Ia menegaskan bahwa festival ini adalah perwujudan amaliah nahdiyah, syar’iyah, urfiyah, dan sanadiyah. Empat landasan itu menjadi fondasi kuat mengapa tradisi tidak bisa dilepaskan dari kehidupan masyarakat NU di Madura.

Lebih jauh, K. Hasan mengutip teladan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). “Gus Dur tidak pernah meninggalkan ziarah ke makam-makam. Bahkan beliau lebih suka berbincang dengan arwah daripada manusia di bumi,” ujarnya, memancing senyum hadirin yang memahami kejenakaan sekaligus kedalaman pernyataan itu.

Sultan Katandur dan Dakwah yang Membumi

Salah satu refleksi menarik adalah tentang sosok Sultan Katandur. Menurut K. Syahid, Wakil Ketua PCNU Sumenep, Sultan Katandur hadir dengan gaya dakwah yang berbeda: ia tidak mendakwahkan Islam lewat podium atau orasi, melainkan melalui praktik nandur (bertani). serta ada doa dari K. Abdurrahman (yaitu K. Sodagar/Gung Rombu): Samoga na' poto dan kaula mandar laeba.

Saat itu, masyarakat Madura banyak yang berprofesi sebagai nelayan dan petani. Maka, dakwah Sultan Katandur menjadi relevan, dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Dakwah melalui laku keseharian inilah yang membuat Islam diterima bukan sebagai doktrin yang jauh, melainkan sebagai jalan hidup yang menyatu dengan alam dan pekerjaan.

“Katandur itu berarti nandur. Dakwahnya adalah dakwah keseharian, dakwah kebudayaan. Ia bicara lewat tindakan nyata, yang langsung dirasakan oleh masyarakatnya,” tambah K. Syahid.

Refleksi ini sekaligus menjadi pengingat bahwa kebudayaan dan agama tidak pernah berdiri sendiri. Keduanya menyatu, saling menopang, dan bersama-sama membentuk identitas masyarakat.

Sinergi Pendidikan dan Kebudayaan

Festival Sapparan Budaya #4 juga diwarnai kerja sama dengan Sakola’an Tas Taman Nurul Anwar Gapura. Kolaborasi ini menjadi bukti bahwa pendidikan formal dan tradisi budaya bisa berjalan beriringan. Para siswa tidak hanya diajak memahami pelajaran di kelas, tetapi juga diperkenalkan dengan akar kebudayaan mereka sendiri.

Keterlibatan Sakola’an Tas menunjukkan adanya kesadaran bahwa generasi muda perlu diberi ruang untuk menyelami tradisi. Tanpa keterlibatan mereka, tradisi hanya akan menjadi kisah masa lalu yang dipajang di etalase sejarah. Dengan melibatkan sekolah, festival ini memastikan bahwa tradisi tetap hidup, bergerak, dan berdialog dengan zaman.

Nye’-Konye’ Gunong: Menjaga Bumi, Menjaga Kehidupan

Tema “Nye’-Konye’ Gunong” sendiri menyimpan pesan ekologis yang kuat. Gunung bukan hanya simbol geografis, melainkan juga simbol spiritual dan ekologis. Menjaga gunung berarti menjaga keseimbangan alam, air, dan kehidupan manusia. Dalam konteks Madura, gunung dan tanah adalah sumber kehidupan yang menghubungkan masyarakat dengan leluhurnya.

Festival ini seakan menjadi pengingat bahwa budaya tidak hanya berurusan dengan seni, tari, dan musik, tetapi juga dengan lingkungan. Spirit menjaga bumi adalah spirit menjaga kehidupan.

Tradisi, Identitas, dan Masa Depan

Ziarah ke Asta Gung Rombu dan seluruh rangkaian Festival Sapparan Budaya memperlihatkan bagaimana masyarakat Madura masih memegang erat tradisinya. Tradisi ini bukan sekadar warisan masa lalu, melainkan juga bekal menghadapi masa depan.

Lesbumi sebagai penggerak budaya NU menegaskan posisinya sebagai penjaga sekaligus pengembang tradisi. Festival ini adalah ruang dialog antara generasi tua dan muda, antara agama dan budaya, antara sejarah dan masa depan.

Dengan sapaan hangat dari tanah Gapura, Festival Sapparan Budaya #4 menjadi penanda bahwa tradisi selalu menemukan jalannya untuk tetap hidup. Dari ziarah, dari diskusi buku, hingga kerja sama pendidikan, semuanya mengalir dalam semangat merawat identitas dan memperkokoh kebersamaan.

Festival ini bukan hanya milik Lesbumi, bukan hanya milik NU, melainkan milik masyarakat Madura. Dari Gapura untuk Sumenep, dari Madura untuk Indonesia.



Kontributor: Matroni Muserang

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama
Lalampan

Formulir Kontak