Menggali Spirit Moralitas Manusia Madura

Halaqah Budaya Festival Sapparan Budaya #4: Menggali Spirit Moralitas Manusia Madura



Halaqah Budaya Festival Sapparan Budaya #4: Menggali Spirit Moralitas Manusia Madura

#Dari Sullamtaufik hingga Sulam-Alis

Lalampan.com. Sumenep, 26 September 2025 — Festival Sapparan Budaya #4 berlanjut pada pagi ini dengan agenda Halaqah Budaya yang berlangsung di Aula MWCNU Gapura. Mengusung tema “Nye’-Konye’ Gunong: Spirit Moralitas Manusia Madura”, acara ini menjadi ruang perjumpaan antara tradisi, ilmu pengetahuan, dan refleksi sosial.

Kegiatan ini terlaksana berkat Kerjasama Lesbumi PCNU Sumenep dengan Lesbumi MWCNU Gapura & Sakola’an Tastaman Nurul Anwar Gapura, serta beberapa Komunitas di Gapura Sumenep.

Halaqah Budaya dipandu dengan tenang oleh Zaitun Bening, yang memoderatori jalannya diskusi sehingga suasana tetap hangat dan terarah. Kehadiran dua pemateri dengan perspektif berbeda—K. M. Faizi, budayawan nasional, penyair, sekaligus kiai, dan Achdiar Redy Setiawan, akademisi alumni S3 Universitas Malaysia—membawa wawasan yang berlapis, mulai dari keseharian yang sederhana hingga analisis sosial yang tajam.

KM Faizi: Dari Sullamtaufi hingga Sulam-Alis

Dalam paparannya, K. M. Faizi menghadirkan refleksi moral dengan gaya khasnya: sederhana, puitis, tetapi penuh makna. Ia menyinggung perjalanan intelektual masyarakat dari kitab Sullam at-Taufiq—sebuah teks klasik yang biasa diajarkan di pesantren—hingga fenomena modern “Sulam-Alis”, istilah yang ia gunakan untuk menggambarkan kesibukan generasi kini yang lebih banyak memoles penampilan fisik ketimbang merawat batin.

“Yang lebih utama adalah membangun moralitas, terutama ke glowing-an batin, bukan sibuk memoles badan. Banyak orang lebih suka menghambur-hamburkan uang untuk jajan, tetapi pelit kalau untuk membeli buku atau kebutuhan ilmu pengetahuan,” ujarnya, disambut anggukan para peserta.

KM. Faizi menegaskan, budaya Madura selalu mengakar pada moralitas yang sederhana namun kuat. Bahkan hal-hal kecil seperti disiplin di jalan raya, menurutnya, adalah cerminan dari kualitas moral seseorang. “Kalau lampu motor saja tidak dijaga, maka keselamatan orang lain bisa terancam. Moralitas bukan hal besar yang abstrak, tetapi nyata dalam keseharian kita,” tambahnya.

Achdiar Redy Setiawan: Waspada Virus MERS

Sementara itu, Achdiar Redy Setiawan menghadirkan istilah popular seperti: Virus MERS. Bukan penyakit pernapasan, melainkan akronim dari Materi, Egosentrisme, Rasional, dan Sekuler. Menurutnya, virus ini sedang menjangkiti masyarakat modern.

“Masyarakat kita menjadi serba kalkulatif. Semua diukur dengan hitungan untung-rugi, seakan-akan hidup hanyalah transaksi. Padahal manusia Madura memiliki warisan moralitas yang luhur, yang seharusnya bisa menjadi penangkal virus itu,” paparnya.

Achdiar menegaskan, jika “virus” ini terus berkembang tanpa kontrol, maka masyarakat akan kehilangan ruh kebersamaan, solidaritas sosial, dan nilai-nilai luhur yang menjadi fondasi budaya.

Peserta Antusias, Dari Pelajar hingga Muslimat

Peserta Halaqah Budaya kali ini datang dari berbagai kalangan: pelajar, Muslimat NU, Fatayat NU, hingga siswa Pramuka. Aula MWCNU Gapura dipenuhi semangat anak muda yang larut dalam sajian reflektif kedua pemateri.

Moderator Zaitun Bening memberi ruang bagi audiens untuk menyerap gagasan, sekaligus menjaga dinamika acara tetap cair. Suasana diskusi tidak kaku, justru hangat, karena para peserta merasa dekat dengan isu yang dibicarakan: soal disiplin kecil yang sering dilupakan, dan soal godaan modernitas yang membuat manusia lebih sibuk dengan fisik ketimbang batin.

Menjaga Masa Depan dengan Moralitas

Halaqah Budaya ini menegaskan kembali pesan besar Festival Sapparan Budaya #4: bahwa merawat tradisi berarti juga merawat moralitas. Tema “Nye’-Konye’ Gunong” mendapat tafsir baru: gunung tidak hanya simbol ekologis, tetapi juga simbol keteguhan moral.

Bagi masyarakat Madura, gunung adalah lambang ketegaran dan penjaga keseimbangan. Spirit menjaga gunung sama artinya dengan menjaga nurani manusia.

Festival Sapparan Budaya #4, melalui ziarah, diskusi buku, hingga halaqah budaya, telah menunjukkan bahwa tradisi bukan sekadar romantisme masa lalu. Ia adalah bekal moral, sumber energi, dan arah jalan bagi masa depan Sumenep dan Madura.


Kontributor: Lesbumi PCNU Sumenep

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama
Lalampan

Formulir Kontak