Merdeka House: Saatnya Indonesia Punya Sebutan
Ikonik Setara White House
Lalampan.com—1447 || ESAI || Dalam politik dunia, sebuah
bangunan dapat menjelma lebih dari sekadar susunan beton dan tiang kokoh. Ia
menjadi simbol, narasi, bahkan suara resmi sebuah bangsa. Amerika Serikat
memiliki White House, Rusia punya Kremlin, Prancis bangga dengan Élysée Palace,
dan Korea Selatan pernah mengibarkan Blue House. Dari tempat-tempat itu,
pernyataan besar lahir, kebijakan global diumumkan, dan citra negara
dipertontonkan ke seluruh dunia.
Indonesia? Hingga kini, media internasional kerap menulis
“Jakarta stated…” atau “Jakarta urged…” ketika merujuk pada sikap resmi
pemerintah. Seolah ibu kota menjadi pusat identitas diplomasi, bukan bangunan
simbolik yang merepresentasikan jiwa bangsa. Padahal, kita punya Istana Merdeka,
tempat presiden bekerja, menyambut tamu negara, dan menggelar upacara
kenegaraan.
Namun, istilah “istana” atau palace*dalam bahasa Inggris
sering terasa terlalu formal, bahkan berjarak. Kata “istana” membawa nuansa
feodal, sakral, seolah lebih cocok bagi kerajaan ketimbang republik demokratis.
Justru di sinilah lahir gagasan segar: mengangkat istilah “Merdeka House”
sebagai ikon baru Indonesia. Ringkas, membumi, dan mudah dipahami dunia
internasional.
Jejak Sejarah: Dari Istana Merdeka ke Merdeka House
Istana Merdeka berdiri sejak masa kolonial Belanda, dahulu
bernama Koningsplein Paleis. Setelah proklamasi, Soekarno menjadikannya simbol
kedaulatan. Dari balkon istana inilah bendera Merah Putih dikibarkan, dari
ruangannya pula pidato-pidato kebangsaan menggema.
Soeharto kemudian menggunakannya sebagai pusat administrasi
yang penuh disiplin. Presiden-presiden setelahnya, mulai dari Habibie, Gus Dur,
Megawati, hingga Susilo Bambang Yudhoyono, menjadikan Istana Merdeka sebagai
tempat lahirnya keputusan politik. Di era Joko Widodo, istana tetap dipakai
sebagai panggung internasional, dari menerima tamu kenegaraan hingga
mengumumkan kebijakan nasional.
Namun selama puluhan tahun, dunia luar tetap menyebut
“Jakarta.” Bukan Istana Merdeka, apalagi simbol khusus. Padahal, setiap kali
Amerika berbicara, media dunia menulis “The White House says….” Bahkan tanpa
menyebut Washington. Rusia pun tidak disebut “Moscow says…,” melainkan “The
Kremlin announces….” Begitu pula Prancis dengan Élysée. Artinya, yang dilihat
dunia bukan hanya negara, tetapi ikon.
Diplomasi Simbolik Dunia
White House bukan sekadar rumah presiden. Ia adalah alamat
paling terkenal di dunia. Siapa pun tahu 1600 Pennsylvania Avenue adalah
jantung kekuasaan Amerika. Begitu juga Kremlin di Moskow. Benteng tua itu sudah
ratusan tahun berdiri, melampaui rezim Tsar hingga komunis, dan kini simbol
Rusia modern.
Prancis punya Élysée Palace, tempat presiden bersemayam
sekaligus panggung elegan diplomasi Eropa. Korea Selatan pun, dengan Blue House
yang khas atap birunya, sempat menjadi ikon demokrasi Asia Timur sebelum
dipindahkan ke kompleks Yongsan
Kesamaan mereka adalah branding sederhana. Nama yang mudah
diingat, gampang diucapkan, dan sarat makna. White House? Dua kata sederhana,
tapi kini berarti kekuasaan global. Kremlin? Satu kata, kuat, padat, dan
mewakili seluruh Rusia.
Indonesia masih terjebak dengan “Istana.” Kata itu panjang
jika diterjemahkan ke bahasa Inggris. Merdeka Palace terdengar formal, seperti
kastil Eropa. Sementara “Merdeka House” terasa lebih akrab, lebih mudah
diterima media internasional, dan yang terpenting: mengandung jiwa bangsa.
Filosofi Merdeka House
Mengapa Merdeka House? Karena kata Merdeka adalah kata kunci
yang menghidupkan republik ini. Dari teriakan Proklamasi hingga slogan
demonstrasi, “Merdeka” menjadi denyut nadi rakyat Indonesia. Tidak ada kata
lain yang sekuat itu.
Sementara istilah House memberi nuansa rumah bersama. Ia bukan
singgasana yang jauh, melainkan tempat di mana rakyat merasa ikut memiliki.
Sebuah rumah kemerdekaan, tempat kebijakan lahir demi rakyat, dan suara bangsa
dikumandangkan ke dunia.
Bayangkan bila suatu hari berita internasional menulis:
“From the Merdeka House,
Indonesia condemns Israel’s aggression and reaffirms its commitment to
justice.”
Kalimat itu jauh lebih berwibawa daripada sekadar:
“Jakarta condemns Israel’s
aggression.”
Dengan branding Merdeka House, suara Indonesia akan terdengar
lebih simbolik, lebih resmi, lebih mudah melekat di benak publik global.
Manfaat Simbol Baru
Ada beberapa alasan mengapa Indonesia butuh sebutan ikonik:
1. Memperkuat Diplomasi Internasional
– Setiap pernyataan
dari Merdeka House akan dipandang sebagai suara resmi negara, bukan sekadar
ibukota.
2. Membangun Citra
Indonesia sebagai Pemimpin Global South
– Negara-negara
Selatan Dunia sering mencari ikon yang bisa diandalkan. Merdeka House bisa jadi
suara moral melawan penindasan global.
3. Memudahkan Media Internasional
– Alih-alih menulis
“Jakarta,” media bisa menulis “Merdeka House.” Lebih ringkas, lebih bermakna.
4. Membumikan Kepemimpinan
– Kata “House”
membuat simbol ini dekat dengan rakyat, tidak elitis.
Dari Jakarta ke Merdeka House
Kini saatnya Indonesia melangkah. Dunia sudah terbiasa
menyebut White House, Kremlin, atau Élysée. Mengapa Indonesia tidak? Kita punya
Istana Merdeka, simbol perjuangan dan kemerdekaan. Tinggal membingkainya ulang
dengan sebutan ikonik: Merdeka House.
Sejak hari ini, setiap pernyataan resmi sebaiknya dituturkan
bukan dari “Jakarta,” melainkan dari “Merdeka House.” Dari rumah inilah suara
kemerdekaan menggema, suara bangsa yang pernah dijajah kini memimpin narasi
keadilan di panggung dunia.
Merdeka House bukan sekadar nama, melainkan identitas baru.
Dan Indonesia layak memilikinya.
Mat Toyu
Pengamat Sampah