Basa Nantowagi Bangsa




"Sumenep tak bisa dibohongi," celetuk pria penjual gorengan yang kuterka berkepala 5 lebih di Jalan Panglima Sudirman, Bangkalan Kamis malam (11/5).

Selama di Kota Salak sering kali saya mendengar pernyataan serupa. Suatu ketika seorang perempuan pemilik usaha mainan anak-anak di area Stadion Gelora Bangkalan (SGB) juga mengatakan demikian.

"Dhari Sumenep, Le'?" Tanya perempuan asal Sampang tersebut pada malam Minggu itu

"Enggi," jawab saya. Pertanyaan perempuan itu saya yakini terlontar setelah mendengar percakapan saya dengan istri dan anak saat itu.

Pernyataan dan pertanyaan serupa sering saya dengan. Tapi saya lupa mencatat waktu dan tempat serta nama orangnya. Sebagai orang yang sejak kecil tinggal di Sumenep saya merasa bangga. Biasanya, pertanyaan seperti dikatakan perempuan itu dilanjut, "Basana reng Sumenep alos."

Meski bangga dan banyak pengakuan demikian saya tidak mengatakan bahwa bahasa (Madura) orang selain Sumenep kasar. Sungguh tidak elok saya mengatakan demikian. Sebab, setiap bahasa, lebih-lebih tentang dialek, memiliki latar belakang. Kondisi sosial dan geografi penutur juga menentuan perbedaan itu.

Persoalan ada orang lain yang demikian itu silakan. Tidak haram. Mungkin hanya bonus sekaligus tantangan. Jika Sumenep diibaratkan Solo-nya Madura, mestinya oreng Sumenep tidak lengah untuk setia melestarikan khasanah keluhuran itu.

Tapi saya lebih tertarik pada pembahasan kekayaan bahasa. Meski sesama bahasa Madura, tentu terdiri dari banyak warna. Bahwa basa nantowagi bangsa itu tidak hanya membedakan bangsa beda suku. Itu hanya salah satu bagian.

Pengakuan, pernyataan, dan pertanyaan seperti di atas juga bagian kecil dari "nantowagi" itu. Sebab, jika ada orang Bangkalan yang kebetulan juga berkunjung ke Sumenep, pertanyaan serupa akan terdengar. "Oreng bara' gi?"

Dari perbedaan dialek itu yang oleh orang Madura disebut sanggit. Sanggit karena logat orang yang berbicara berbeda dengan pendengar. Bahkan perbedaan itu tidak harus beda kabupaten. Dalam satu kecamatan kadang terdiri dari beberapa logat.

"Nanowagi" juga bisa menelisik lebih dalam pada ondhagga basa. Penerapan ondhagga basa memperhatikan status/tingkat lawan bicara. Di lingkungan terkecil, keluarga, bahasa anak kepada orang tua -mestinya- tidak sama dengan bahasa orang tua kepada anak.

Itu juga berlaku di ruang lingkup sosial yang lebih luas. Karena itu, untuk menerapkan bahasa dituntut paham orang lawan bicaranya. Hubungan kekerabatan jadi salah satu syarat agar bisa memahami itu. Silsilah keluarga jadi penting.

Jika tak menghiraukan ondhagga basa harus menerima sanksi sosial dengan sebutan mapas atau ta' abasa. Ta' abasa bukan berarti bisu.

Tapi ini bagi yang mengamalkan. Bagi yang tidak menerapkan juga silakan. Lagi-lagi mungkin ada cerita yang melatari.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak