Malam ini aku sudah membulatkan hati untuk menemui
Kiai Saba di Asta Nomi, orang yang sudah dikubur lebih tujuh abad yang lalu.
Sesuai saran bapak, aku berangkat lewat tengah malam. Tepat pada malam Jumat
Legi. Aku juga merapalkan kalimat yang sebelumnya sudah diajarkan bapak. Sesuai
dengan perintah bapak juga, aku membaca kalimat itu sejak keluar dari rumah
sesudah melaksanakan salat Sunah hingga tiba di tempat.
Bunyi cecak saling bersahut-sahutan seakan menakutiku
untuk menembus malam yang dingin, gelap, dan pekat. Begitu juga suara makhluk
malam yang lain. Anjing, burung hantu, jangkrik, dan daun-daun yang dihempaskan
angin. Tapi, aku sama sekali tidak meremang. Jiwa ini sudah tertambat utuh pada
besarnya kemauan untuk menyelesaikan kegelisahan yang kian merajam.
“Kamu sudah seharusnya datang ke Asta Nomi. Menemui
Kiai Saba. Dia seorang wali. Dialah yang membabat dan menghidupkan kampung
ini,” kata bapak waktu itu.
Aku sama sekali tidak terkejut dengan apa yang
dikatakan bapak, karena itu sudah dikatakan berkali-kali. Yang membuatku tidak
habis pikir saat itu, aku disuruh menemui Kiai Saba yang sudah meninggal lebih
tujuh abad itu. Pikirku, itu sesuatu yang sulit untuk dipercaya dan ganjil.
Aku pernah lewat di Asta Nomi, tempat Kiai Saba
disemayamkan. Aku tidak melihat apa-apa. Di tempat itu hanya ada kuburan kuno
dengan nisan batu bata berukuran lebih besar dari biasanya dan dikerumuni
lumut. Di sebelah barat dan timur terdapat bambu berduri yang ber-kreyek ketika
diterpa angin. Sedang di bagian utara, tepat di ujung kepala kuburan terdapat
pohon nomi. Tidak ada yang istimewa, kecuali keteduhan dan kesejukan yang
disebabkan pepohonan di sekitarnya.
Namun, bapak berhasil membuatku menanggalkan semua
keraguan. Tak ada guna bicara tentang kebenaran. Hidup tidak lebih dari sebuah
proses dan perjalanan. Maka berjalanlah hingga mencicipi kebenaran bukan
memikirkannya. Dan, aku takluk. Aku penuhi saran bapak untuk menemui Kiai Saba.
Orang yang sudah meninggal lebih dari tujuh abad lalu.
*
Maos jugan
Jauh sebelum bapak menyampaikan sesuatu yang ganjil
itu, aku sudah pernah mendapatkan ucapan yang serupa dari seorang lelaki. Dia
guru ngajiku. Aku masih ingat, saat itu aku berusia lima belas tahun, tepatnya
saat masih sekolah menengah pertama. Aku diajak lelaki itu berziarah ke Asta
Talondang.
Lelaki itu duduk di sebelah timur makam –yang tidak
aku tahu itu makam siapa– menghadap kiblat. Aku juga tidak mendengar jelas apa
yang dibaca beliau meski sudah membuka telinga lebar-lebar. Tiga puluh menit
kemudian, beliau beranjak, tanda sudah selesai. Aku pun mengikutinya.
Namun sebelum pulang, beliau mengajakku duduk-duduk
tepat di pintu masuk Asta Talondang. Kebetulan waktu itu bulan hampir purnama.
Alam begitu indah di bawah cahaya bulan yang temaram. Aku bisa melihat jelas
warna dan bentuk berbagai batu nisan, meski cahayanya remang-remang.
“Kamu bisa bertamu kepada orang mati seperti kamu
bertamu pada tetanggamu yang masih hidup, kemudian bercakap-cakap,” ucap lelaki
itu, guru ngajiku.
Saat itu aku terperanjat. Aku belum pernah mendengar
ucapan seperti itu sebelumnya. Ganjil. Tapi aku penasaran.
“Bagaimana caranya?” tanyaku.
Beliau hanya diam. Menengadah ke atas. Membiarkan
wajahnya dilumuri cahaya bulan. Mengedarkan pandang ke sekeliling, kemudian
mata penuh wibawa itu tertumbuk ke wajahku. Aku pun segera menunduk.
“Cukup itu saja dulu yang kamu ketahui. Kalau sudah
layak, kamu tidak perlu lagi bertanya. Akan ada orang yang memberi tahu
kepadamu.”
Tak dapat kutepis. Pikiranku berkeliaran ke sana
kemari. Saat itu, rasanya sangat sulit untuk tidak percaya terhadap apa yang
dikatakan oleh guru ngajiku. Apalagi, dia termasuk guru ngaji yang sangat aku
kagumi karena penguasaannya terhadap pengetahuan agama yang begitu luas.
Dalam benakku sudah terbayang. Bila aku nanti dapat
menemui orang yang sudah mati maka aku akan menemui nenekku. Kata ibu, nenek
meninggal saat ibu masih kecil. Tentu aku tidak pernah mengenal wajahnya
kecuali dari foto KTP-nya yang hitam putih dan buram. Aku akan menemuinya dan
mengatakan bahwa aku cucunya.
Aku juga berpikir akan menemui tokoh-tokoh besar.
Semua imam madzhab, seperti Imam Malik, Imam Syafi’e, Imam Hambali, da
imam-imam lain. Aku juga akan menemui tokoh sufi besar seperti Imam Al-Ghazali
dan Ibn Ataillah. Aku akan beguru kepada mereka semua secara langsung.
Bahkan, aku juga berencana untuk menemui para nabi,
khususnya Nabi Muhammad. Aku akan mengonfirmasi kebenaran hadis yang banyak
diperdebatkan dan telah menyebabkan konflik selama ini dan terus
berkepanjangan.
“Tapi, benarkah aku bisa menemui orang mati?” tanyaku
pada diriku sendiri sembari mengiringi langkah guru ngajiku pulang dari Asta
Talondang. Aku tak dapat jawaban, kecuali khayalan demi khayalan.
*
Aku berhenti di depan pintu pagar Asta Nomi. Suara
bapak terus mengiang di telingaku tentang Asta Nomi ini. Kata bapak –ini juga
menurut orang-orang kampung– Asta Nomi tidak dapat dibangun tertutup
sebagaimana asta-asta yang lain.
Dulu, asta ini pernah dibangun dengan dinding tembok
dan atap genting. Belum genap tiga hari, bangunan itu sudah roboh rata dengan
tanah. Anehnya, tidak ada bahan-bahan bangunan yang ambruk ke dalam. Semua
menyisih ke bagian luar area kuburan.
Kejadian seperti itu berulang hingga tiga kali.
Setelah itu orang-orang kampung menyimpulkan bahwa Asta Nomi tidak dapat
dibangun. Kiai Saba tidak berkenan. Namun, sebagian orang kampung percaya bahwa
bila kita bisa menembus alam gaib maka Asta Nomi itu tampak begitu megah dan
indah. Ada bangunan yang menaungi pusara Kiai Saba.
“Kamu ke sana bukan untuk mendapatkan barang-barang
pusaka, keris, tongkat, atau cincin. Bukan,” kata bapak tiga hari sebelum aku
memutuskan untuk datang.
“Ketika kamu sudah menemui Kiai Saba, biarkanlah
dirimu diserap olehnya dan dirinya terserap oleh dirimu. Kamu akan manunggal
dengannya dalam satu roh dan semangat,” kata bapak melanjutkan. Aku hanya duduk
menunduk menekuri lantai dan mengernyitkan kening.
“Kamu tahu, Kiai Saba manunggal dengan gurunya. Dan
gurunya manunggal dengan gurunya, gurunya, gurunya, dan seterusnya hingga
manunggal dengan nabinya. Satu roh satu semangat. Dan, nabinya manunggal dengan
Tuhannya. Biarkan dirimu terserap dan menyerap hingga pada titik kemanunggalan
itu.”
Aku tak sepenuhnya paham dengan apa yang bapak
jelaskan. Pikiranku semakin tidak karuan. Antara percaya dan tidak percaya,
tapi aku sangat ingin membuktikan kebenaran itu.
“Kalau kamu berhasil, kegelisahanmu akan terjawab.
Kamu akan mengerti bagaimana hidup dan menghidupkan kampung kita ini, seperti
Kiai Saba hidup dan menghidupi kampung ini,” kata bapak meyakinkanku sebelum
menutup pecakapannya sore itu.
Cukup lama memang aku menggelisahkan keadaan di
kampungku ini. Dua sumur di kampungku mati kasat begitu saja. Sumur pertama,
sumur mata air. Ia menjadi tumpuan penduduk kampungku untuk bertani –membuat
tanah tandus menjadi hidup; sumur kedua, sumur pengetahuan yang terjelma pada
sosok Kiai Faqih. Ia mejadi tumpuan penduduk untuk menghilangkan dahaga jiwa
yang kering kerontang. Semua itu sekarang tiada, tak ada yang peduli dan tak
ada pula penerusnya.
*
Baru satu langkah kakiku melangkahi pintu pagar Asta
Nomi, tapi aku sudah terkesiap. Keadaan berubah seketika. Aku tidak lagi
melihat kuburan yang berlumuran lumut. Aku juga tidak lagi mendapati pohon nomi
dan bambu di kanan-kiri area asta. Aku melihat kubah cahaya mengurungi area
Asta Nomi. Cahaya itu berpendar ke segala penjuru hingga aku tak bisa
membedakan siang dan malam.
Seandainya aku tidak disadarkan oleh sesosok lelaki di
hadapanku yang duduk menghadap kiblat, aku benar-benar akan mabuk terpukau pada
keindahan itu. Gegas aku mengucapkan salam dan memastikan diriku bahwa aku
benar-benar ada di dalam kubah cahaya itu.
Lelaki itu menjawab salamku meski aku tak lagi tahu
bahasa apa yang sedang digunakan. Aku tidak lagi merasa melihat dengan mata,
mendengar dengan telinga, atau bicara dengan mulut. Bahkan aku tak tahu dengan
apa aku berpikir dan merasa. Tapi aku sadar dan paham, aku ada dan lelaki itu
pun ada. Kami bercakap-cakap. Lelaki itu Kiai Saba. Inikah yang disebut
manunggal, satu roh satu semangat? Entahlah. Aku hanya menyadari bahwa aku
telah menemui orang mati.
Edy Hermawan, Warga Batang-Batang
Gambar: Azimatul Imamah, Sentol Daya