![]() |
| Penopang Literasi |
Suatu hari, seorang siswa pernah
berkata pelan, hampir seperti berbisik,
“Pak, sebenarnya belajar itu buat apa
sih? Toh banyak orang pintar tapi hidupnya biasa-biasa saja.”
Pertanyaan itu sederhana, tapi dalam.
Ia bukan lahir dari kemalasan, melainkan dari kebingungan. Di zaman ketika
informasi datang bertubi-tubi, ketika video pendek lebih sering dibuka daripada
buku, belajar sering terasa seperti kewajiban, bukan kebutuhan. Padahal,
belajar sejatinya adalah perjalanan manusia untuk menjadi lebih utuh.
Di sinilah literasi mengambil peran.
Literasi bukan cuma soal membaca buku tebal atau menulis panjang. Literasi
adalah cara kita memahami dunia, memahami diri sendiri, dan mengambil keputusan
dengan sadar. Agar literasi tidak rapuh, ia membutuhkan penopang. Empat
penopang itu bisa kita ringkas dengan mudah: Data, Daya, Dana, dan Doa.
Empat kata ini mungkin terdengar
biasa. Tapi jika dipahami dengan benar, ia bisa menjadi bekal hidup.
Data: Apa yang Masuk ke Kepala Kita
Setiap hari, kepala kita seperti
pintu yang terbuka. Apa saja boleh masuk: pelajaran di kelas, obrolan teman,
konten media sosial, ceramah, lagu, bahkan gosip. Semua itu adalah data.
Masalahnya, tidak semua data itu
baik. Tidak semua benar. Ada data yang mencerahkan, ada juga yang menyesatkan.
Literasi mengajarkan kita satu hal penting: tidak semua yang ramai itu benar,
dan tidak semua yang viral itu berguna.
Siswa yang literat tidak asal
percaya. Ia terbiasa bertanya:
“Ini sumbernya dari mana?”
“Masuk akal atau tidak?”
“Bermanfaat atau hanya hiburan
sesaat?”
Membaca buku pelajaran adalah data.
Mendengarkan guru adalah data. Membaca Al-Qur’an dan memahami maknanya juga
data. Bahkan pengalaman gagal saat ulangan pun adalah data berharga, jika mau
direnungkan.
Tanpa data, pikiran kita kosong. Tapi
dengan data yang salah, pikiran kita bisa tersesat. Maka literasi bukan hanya
mengumpulkan data, tapi memilah dan memahami.
Daya: Tenaga untuk Bertahan dan
Bergerak
Banyak siswa sebenarnya cerdas, tapi
cepat menyerah. Baru membaca dua halaman sudah mengeluh. Baru menemui soal
sulit langsung putus asa. Di sinilah kita mengenal penopang kedua: Daya.
Daya bukan soal fisik saja. Daya
adalah ketahanan mental. Daya adalah keberanian untuk tetap belajar meski
bosan, tetap membaca meski lelah, dan tetap bertanya meski takut salah.
Belajar itu seperti mendaki bukit.
Tidak selalu menanjak tajam, tapi juga tidak selalu datar. Ada saatnya pelan,
ada saatnya terengah. Siswa yang punya daya tidak berhenti di tengah jalan
hanya karena capek.
Daya tumbuh dari kebiasaan kecil:
membaca meski hanya 10 menit,
mencatat meski tidak disuruh,
mengerjakan tugas tanpa menunda.
Data tanpa daya hanya akan menjadi
hafalan yang cepat hilang. Tapi data yang digerakkan oleh daya akan berubah
menjadi pemahaman.
Dana: Alat yang Membantu, Bukan
Penentu
Kita tidak bisa menutup mata: belajar
memang butuh sarana. Buku, alat tulis, listrik, kuota internet, ruang
kelas—semua itu membutuhkan dana.
Namun, penting untuk dipahami: dana
adalah alat, bukan tujuan. Ia membantu, tapi tidak menentukan segalanya. Banyak
tokoh besar lahir dari keterbatasan. Yang membedakan bukan banyaknya fasilitas,
melainkan cara memanfaatkannya.
Siswa yang literat tidak
menyia-nyiakan apa yang ada.
Kuota dipakai untuk belajar, bukan
hanya hiburan.
Buku dipelihara, bukan disobek.
Perpustakaan dikunjungi, bukan
dihindari.
Dana memang bisa mempermudah jalan,
tapi niat dan usaha yang menentukan arah. Dengan dana kecil dan semangat besar,
hasilnya bisa luar biasa. Sebaliknya, dengan dana besar tapi malas belajar,
hasilnya sering mengecewakan.
Doa: Penjaga Arah dan Hati
Inilah penopang yang sering dianggap
sepele, padahal paling dalam maknanya: Doa.
Doa bukan hanya ucapan sebelum
belajar. Doa adalah niat yang terus hidup dalam proses belajar itu sendiri.
Mengapa kita belajar? Untuk apa ilmu itu nanti?Doa menjaga agar ilmu tidak
melahirkan kesombongan. Doa membuat kita sadar bahwa sepintar apa pun manusia,
ia tetap butuh bimbingan Tuhan.
Ilmu tanpa doa bisa melahirkan
kecerdasan yang dingin. Tapi ilmu yang disertai doa akan melahirkan
kebijaksanaan. Orang seperti ini tidak hanya pintar menjawab soal, tapi juga
peka terhadap sesama.
Belajar dengan doa berarti belajar
dengan tanggung jawab. Ilmu tidak hanya untuk diri sendiri, tapi untuk kebaikan
bersama.
Empat Penopang, Satu Tujuan
Jika dirangkai, keempat penopang ini
saling menguatkan.
Data mengisi pikiran.
Daya menggerakkan langkah.
Dana memudahkan perjalanan.
Doa menjaga arah.
Kurang satu saja, belajar menjadi
timpang. Terlalu banyak data tanpa doa bisa menyesatkan. Daya tanpa arah bisa
melelahkan. Dana tanpa semangat bisa sia-sia.
Literasi sejati bukan tentang siapa
yang paling cepat, tapi siapa yang paling tekun. Bukan siapa yang paling keras
bicara, tapi siapa yang paling dalam memahami.
