Trash Barrier Bisa Keya Kan Sanajjan gun Perreng
“Jika bambu
rela patah demi menjaga air tetap mengalir, apakah kita tidak bisa sedikit
menundukkan ego demi menjaga bumi tetap bernapas”
*Mat. Toyu
Lalampan.com—1447. ESAI || Di tepi sungai kecil yang melintasi
kampungku, aku sering berhenti sejenak. Di antara arus yang membawa ranting dan
daun, sering pula terbawa plastik-plastik kecil yang entah datang dari mana.
Kadang kantong bekas minyak, kadang bungkus mi instan. Semuanya menumpuk di
tikungan, menimbulkan bau yang pelan-pelan jadi biasa di hidung orang kampung. Karena
bau pesing pelan-pelan menempel di hidungnya (barangkali)
Anak-anak sudah dilarang bermain bermain di sana. Dulu mereka
tertawa, meloncat dari batu ke batu, lalu berenang ketepian, ya meski sekarang
ada Sebagian yang masih berenang tak memedulikan air yang kini keruh seperti
teh basi. Sementara orang dewasa, sibuk dengan urusan sawah dan ladang,
menganggap itu hal biasa—sampah hanyut, air mengalir, toh nanti laut yang
menerima. Tapi laut tidak berbicara, ia hanya diam, menelan semuanya, termasuk
sisa-sisa kesadaran kita yang mulai lapuk.
Suatu sore, sambil duduk di atas jembatan bambu yang mulai
lapuk, aku berpikir: Mengapa kita tidak mencoba menahan sampah itu sebelum
sampai ke muara? Bukan dengan alat mahal, bukan pula dengan mesin besar yang
berisik dan sulit dirawat. Cukup dengan bambu—yang tumbuh di hampir setiap tepi
sawah, setiap kebun belakang rumah.
Aku membayangkan bambu-bambu itu dibelah selebar dua jari,
ditancapkan berderet di dasar sungai, membentuk semacam pagar yang ramah air
tapi tegas terhadap sampah. Tidak menutup aliran, hanya menahan yang seharusnya
tidak hanyut. Bentuknya sederhana, tapi di balik kesederhanaan itu tersimpan
harapan: agar sungai-sungai Madura kembali jernih, agar anak-anak tidak lagi
bermain di air yang penuh plastik, agar setiap kampung bisa menjaga airnya
sendiri.
Orang bisa saja menyebutnya trash barrier, tapi bagiku ini
lebih dari sekadar alat penahan sampah. Ia adalah bentuk penghormatan kepada
sungai, kepada tanah air, kepada warisan gotong royong yang nyaris terlupa.
Bukankah di masa lalu orang Madura membuat wadah serupa ember dari bambu untuk
menahan ikan di muara? Maka kini, bambu itu kembali bekerja—bukan lagi untuk
menangkap ikan, tapi untuk menahan sisa kelalaian manusia. Ya SISA Kelalaian
MANUSIA (saya).
Aku tahu, sebagian orang mungkin akan tertawa. “Ah, ide lama.
Tak akan bertahan lama di sungai deras.” Tapi biarlah. Aku lebih suka
ditertawakan karena mencoba daripada diam dan membiarkan sungai terus menangis.
Lagi pula, bukankah setiap perubahan selalu dimulai dari yang ditertawakan?
Orang Madura punya pepatah: mella’ mata gerrang. Kalau mata
sudah buta oleh kebiasaan, setidaknya tulang kita jangan diam. Maka, meski
ditertawakan, aku ingin tetap menancapkan bambu-bambu itu. Kalau roboh, aku
tegakkan lagi. Kalau hanyut, aku pasang ulang. Tidak untuk dilihat orang, tapi
untuk menenangkan diri sendiri—bahwa aku sudah berbuat sesuatu untuk sungai
yang membesarkanku.
Aku membayangkan, jika setiap kampung punya satu atau dua
baris pagar bambu di sungainya, lalu tiap akhir pekan anak muda bergantian
membersihkannya—bukankah itu bentuk taresna ka taneyan lanjang, cinta pada
tanah dan lingkungan sendiri? Kita tak perlu menunggu proyek besar, cukup
menancapkan bambu dan niat baik.
Mungkin nanti, orang kota akan datang dengan kamera dan
menulis laporan: Trash barrier versi Madura, sederhana tapi efektif. Mereka
akan bertanya, siapa yang memulai? Dan aku mungkin hanya tertawa pelan. Karena
ide ini sebenarnya bukan hal baru. Dulu, para leluhur juga sudah menahan aliran
air dengan bambu untuk menata irigasi sawah, untuk menjaga embung agar tidak
jebol. Kita hanya mengulang cara lama dengan nama baru. Lalu seakan-akan telah
menemukan sesuatu YANG BARU.
Sebab dalam hidup ini, banyak hal sebenarnya tidak benar-benar
baru—kita hanya lupa asalnya. Yang kita sebut inovasi, kadang hanya bentuk lain
dari ingatan yang kembali.
Bambu itu tumbuh tanpa pamrih. Ia meneduhkan, ia menguatkan,
dan ia tidak pernah meminta bayaran. Maka, jika bambu bisa menahan sampah,
seharusnya kita juga bisa menahan KESERAKAHAN yang membuat sungai menjadi
tempat pembuangan. Jika bambu rela patah demi menjaga air tetap mengalir,
apakah kita tidak bisa sedikit menundukkan ego demi menjaga bumi tetap
bernapas?
Aku teringat, beberapa tahun lalu, orang-orang kampung sering
berkata: “Areya sateya ta’ bisa ngalakone apa bai, songayya kan la possa’ dhari
olo.” Kalimat itu terdengar pasrah, tapi sesungguhnya menyakitkan. Karena
kepasrahan itulah yang membuat sampah terus datang, terus hanyut, tanpa
perlawanan.
Padahal, seperti kata seorang kiai tua di desaku, “Sungai itu
juga makhluk, Toyu. Ia tahu siapa yang merawat dan siapa yang melukainya.”
Kata-kata itu dulu hanya lewat di telingaku, tapi kini terasa menggema setiap
kali aku melihat plastik mengapung di air yang dulu jernih.
Bayangkan, jika suatu hari, di setiap perbatasan kampung di
Madura, ada pagar bambu kecil yang menahan sampah. Di Desa Pragaan, di Lenteng,
di Rubaru, di Saronggi, bahkan sampai Kalianget. Maka setiap kali ada orang
lewat dan melihat bambu itu, ia tahu bahwa ada niat baik yang dipasang di sana.
Mungkin, suatu ketika, pemerintah akan datang membawa alat
modern, sensor otomatis, atau jaring baja tahan karat. Tak apa. Tapi sejarah
kecil itu akan tetap tercatat: bahwa sebelum ada mesin, sudah ada bambu-bambu
sederhana yang menegakkan martabat manusia dan alamnya.
Dan kalaupun nanti ide ini lenyap ditelan waktu, aku tidak
ingin menyesal. Karena setidaknya pernah ada masa ketika seseorang di tepi
sungai kecil, dengan kaki berlumur lumpur dan kepala penuh mimpi, berpikir
bahwa menjaga bumi tidak harus menunggu kaya, tidak harus menunggu viral, cukup
dengan sepotong bambu dan niat baik.
Bambu itu, jika bisa bicara, mungkin akan berkata: “Aku hanya
akar dari gagasan yang lebih besar—kesadaran untuk tidak membuang apa pun
sembarangan.”Ia menunduk di arus, tapi tidak menyerah. Ia melentur di bawah
hujan, tapi tidak patah. Seperti harapan orang kecil di pulau ini—keras,
jenaka, dan jujur dalam kepedihan.
Catatan Penulis:
Tulisan ini bukan tentang alat, melainkan tentang kesadaran. Tentang bagaimana bambu, air, dan tangan manusia bisa bersatu menjaga kehidupan. Jika ide ini nanti diwujudkan, biarlah ia disebut apa saja—trash barrier bambu, pagar sampah, atau benteng arus—yang penting, ia tumbuh dari tanah sendiri dan bekerja untuk alam sendiri. Jangan lupa tersenyum kecil dan tertawa besar.