Indonesia Membara: Agustus yang Menggores Luka

Indonesia Membara, Kenaikan pajak, Demontrasi dan DPR Tolol



ESAI|| Tulisan ini hadir sebagai bagian dari salah satu fungsi sastra, yaitu Arsip peristiwa. Sastra tidak hanya menjadi ruang imajinasi, tetapi juga wadah untuk merekam denyut zaman, menyimpan luka, dan menuturkan kembali gejolak sosial yang mewarnai kehidupan bangsa. Apa yang terjadi pada Agustus 2025 bukan semata rangkaian berita harian, melainkan potret batin kolektif yang perlu diabadikan agar generasi mendatang dapat membaca, merenung, dan belajar. Melalui catatan ini, sastra berperan sebagai saksi, penyimpan memori, sekaligus pengingat sejarah. || Lalampan.com


Indonesia Membara: Agustus yang Menggores Luka

Agustus biasanya adalah bulan yang ditunggu-tunggu. Bulan ketika merah putih berkibar gagah di setiap sudut jalan, ketika anak-anak berlarian mengikuti lomba tujuhbelasan, ketika rakyat merayakan sebuah kata sakral: merdeka. Namun, Agustus 2025 menghadirkan wajah lain. Bukan pesta kemerdekaan yang kita rayakan, melainkan asap hitam yang menutup langit, teriakan rakyat yang tercekik gas air mata, dan nyawa yang melayang di jalanan.

Indonesia membara.

Kita harus jujur mengakui, kobaran itu tidak muncul tiba-tiba. Ia lahir dari bara kecil yang terus dipelihara oleh keserakahan dan ketidakadilan, hingga akhirnya meledak menjadi api besar.

Bara Pertama: Gaji dan Tunjangan DPR

Segalanya bermula dari keputusan yang menyakitkan hati rakyat: kenaikan gaji dan tunjangan anggota DPR. Publik dikejutkan oleh angka yang menyinggung rasa keadilan—Rp 3 juta per hari. Angka itu begitu mencolok ketika dibandingkan dengan nasib jutaan rakyat yang hanya bisa membawa pulang Rp 3 juta dalam sebulan, bahkan banyak yang tak sampai angka itu.

Dalih yang dipakai—“untuk meningkatkan kinerja wakil rakyat”—terdengar seperti lelucon pahit. Sebab, rakyat sudah terlalu lama melihat DPR lebih sibuk melayani kepentingan oligarki daripada suara rakyat. Maka, keputusan itu bukan sekadar angka, melainkan penghinaan.

Luka Kedua: Pajak yang Mencekik

Belum kering amarah itu, pemerintah justru menambah beban. Pajak dinaikkan di banyak sektor, dari listrik hingga bahan bakar. Rakyat yang sudah terbata-bata kini dipaksa berlari dengan beban lebih berat di punggung mereka.

Seakan tidak cukup, beberapa pejabat dengan enteng meminta rakyat “bersabar.” Kata-kata yang meluncur seperti peluru, melukai hati orang yang sehari-harinya harus memilih: uang untuk makan atau untuk sekolah anak.

Di titik ini, rakyat mulai bertanya: pembangunan ini milik siapa? Gedung-gedung tinggi terus menjulang di Jakarta, tetapi di pelosok-pelosok negeri, ada orang yang harus menjual kambingnya hanya untuk membeli obat.

Luka Ketiga: Guru Disebut Beban Negara

Pernyataan kontroversial seorang pejabat bahwa “guru adalah beban negara” menjadi bara baru. Pernyataan itu menusuk jantung bangsa. Guru, yang selama ini kita sebut pahlawan tanpa tanda jasa, justru direduksi menjadi angka-angka di neraca keuangan negara.

Guru adalah cahaya di ruang kelas, penopang masa depan anak-anak bangsa. Menyebut mereka sebagai beban adalah bentuk pengkhianatan pada cita-cita kemerdekaan itu sendiri. Maka, wajar jika guru, murid, dan masyarakat bereaksi keras.

Pati: Api Pertama yang Menyala

Pertengahan Agustus, Pati menjadi saksi. Ribuan orang turun ke jalan menolak keserakahan DPR, kenaikan pajak, dan penghinaan terhadap guru. Aksi yang awalnya damai berubah ricuh ketika aparat menekan dengan kekerasan. Api pun menyala.

Beberapa kendaraan terbakar, toko-toko dijarah, luka-luka bermunculan. Namun yang lebih penting: Pati menjadi simbol. Simbol bahwa rakyat sudah tidak sanggup lagi menahan amarah. Video-video dari Pati menyebar luas, memperlihatkan wajah rakyat yang marah sekaligus putus asa.

Jakarta, 25 Agustus: Puncak Bara

Gelombang itu akhirnya tiba di ibu kota. Pada 25 Agustus 2025, puluhan ribu orang dari berbagai daerah berkumpul di Jakarta. Mereka berbaris menuju Senayan dan Istana Negara, membawa poster, teriakan, dan harapan terakhir agar suara mereka didengar.

Namun, sejarah kita tahu: aksi damai sering kali berujung duka. Bentrokan pecah. Gas air mata membutakan jalan, peluru karet menghantam tubuh, dan ban-ban terbakar memenuhi jalan-jalan utama.

Di tengah kekacauan itu, seorang driver ojek online tewas. Ia bukan aktivis, bukan politisi, hanya rakyat kecil yang mencari nafkah. Kematian itu menyayat hati: rakyat biasa, yang tak pernah menikmati Rp 3 juta per hari, justru menjadi tumbal di jalanan.

Jakarta terbakar, dan Indonesia pun terguncang.

Indonesia Membara

Setelah Jakarta, api itu menyebar ke berbagai kota. Surabaya, Medan, Makassar, Banjarmasin, dan kota-kota lain ikut bergejolak. Unjuk rasa berubah menjadi kerusuhan. Pasar dijarah, kendaraan dibakar, jalan ditutup. Internet melambat, live TikTok dimatikan, tetapi suara rakyat tak bisa lagi dibungkam.

Agustus yang biasanya penuh tawa lomba tujuhbelasan kini penuh tangisan. Kemerdekaan terasa hanya sebagai dekorasi, sementara rakyat merasakan bentuk penjajahan baru—bukan dari bangsa asing, melainkan dari elite bangsanya sendiri.

Refleksi: Merdeka, Tapi untuk Siapa?

Agustus 1945 memberi kita kemerdekaan dari penjajahan asing. Namun, Agustus 2025 memberi kita pertanyaan pahit: sudahkah kita benar-benar merdeka?

Merdeka seharusnya berarti terbebas dari penindasan, dari ketidakadilan, dari keserakahan segelintir orang. Tetapi kenyataannya, rakyat masih ditindas—oleh pajak yang mencekik, oleh wakil rakyat yang serakah, oleh pejabat yang merendahkan guru, oleh kebijakan yang membungkam ruang digital.

Kita memang merdeka dari Belanda dan Jepang. Tetapi kita belum merdeka dari kerakusan dan oligarki.

Penutup

Agustus 2025 akan tercatat dalam sejarah sebagai bulan luka, bukan sekadar bulan perayaan. Bulan ketika merah putih tak lagi hanya berkibar di tiang bambu, tetapi juga berkibar di dada rakyat yang marah. Bulan ketika Indonesia membara, bukan karena semangat kemerdekaan, melainkan karena api ketidakadilan yang dibiarkan menyala terlalu lama.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Dukung Kami merawat "Bahasa dan Budaya Madura"

Jika Anda membaca tulisan di lalampan.com dan merasa mendapatkan manfaat, silahkan bagikan ke tan-taretan, bala-tangga tor kanca, silahkan diskusikan, atau bahkan cukup tinggalkan komentar. Dan bila Anda berkenan, silahkan juga menekan tombol Trakteer.id untuk sekadar mentraktir kami segelas kopi/Jindhul.

Trakteer Kopi Sacangker

Formulir Kontak