Artikel-esai ini dipetik dari FB Kiai A Dardiri Zubairi
Dua kali melintasi desa Pabian yang menghubungkan kota Sumenep dengan Kalianget, mata saya celingak-celinguk mencari penjual buah yang biasa berjejer di sisi selatan jalan. Penjual buah — yang kurang lebih berjumlah lima lapak — itu memudahkan warga yang melintas di jalan itu, untuk sekadar membeli aneka macam buah.
Di desa Pabian inilah terdapat Masjid, Gereja, dan Kelenteng yang jaraknya sangat dekat. Pejabat dan warga sering bilang, dekatnya rumah ibadah tiga agama ini merupakan wujud dan simbol toleransi antar pemeluk agama di Sumenep. Satu afirmasi Sumenep sejak dulu sangat menjunjung keragaman.
Tetapi apakah Sumenep juga "toleran" terhadap rakyat kecil? Jika iya, ke mana penjual buah itu sekarang? Saya coba browsing, siapa tahu ada berita terlewat tentangnya. Benar rupanya. Mereka (di)berhenti(kan) karena menurut Kepala Satpol-PP mereka berjualan di Zona Merah, zona larangan berjualan. Pemerintah melalui Kepala Satpol-PP memberi opsi bagi penjual untuk pindah ke Pasar Anom, Bangkal, atau Pasar Kayu (sar kaju).
Pemberitaan soal penjual buah di desa Pabian ini tak banyak diliput media. Hanya tiga berita media online, itu pun tidak cover both sides karena hanya menjadikan Kepala Satpol PP sebagai narasumber, sementara penjual buah sama sekali tidak dimintai pendapatnya (link di bawah).
Kasus di atas bukan perkara baru di kota Sumenep. Dulu sekali, sekitar dekade 80-an Pasar Anom dipindah dari selatan Masjid Jamik ke tempat sekarang. Pedagang kaki lima, sekitar tahun 2016 di Taman Bunga dipindah ke Giling. Belum lagi Pasar Bangkal yang tak kunjung selesai, akhirnya pedagang meluber ke jalan raya. Pasar Anom juga becek dan semrawut, tanda bahwa pemerintah daerah memang kurang serius memberi ruang nyaman bagi orang-orang kecil.
Alasan yang biasa digunakan untuk merelokasi pedagang kaki lima/pasar mengacu pada Perda (meski mereka tidak pernah terlibat dalam merumuskannya). Atau paling sumir, "mengganggu keindahan dan ketertiban". Keindahan dan ketertiban siapa? Sangat jelas alasan-alasan legal formal seperti Perda dan alasan-alasan lain seperti mengganggu keindahan dan ketertiban atau "merusak" tata ruang kota sangat bias kelas. Dari sini kita tahu, tata ruang kota memang dibuat indah, tertib dan nyaman didesain sesuai selera dan kepentingan pemodal dan penguasa. Sementara rakyat kecil tersungkur di pojok-pojok kota mengais rezeki yang makin disempitkan ruangnya.
Berbeda dengan segelintir orang kaya yang dibiarkan membangun jaringan bisnisnya, meski di lahan resapan yang sebelumnya diatur tidak boleh dibangun. Anda tahu perumahan di sebelah timur Hotel Myze? Dulu saya pernah membaca papan "larangan membangun" di sana, tapi toh perumahan tetap berdiri tegak. Lalu Hotel Myze? Itu juga satu kawasan dengan perumahan sebelah timurnya sebagai lahan resapan, toh akhirnya juga berdiri megah sebagai satu-satunya hotel berbintang empat di Madura (link berita di bawah). Terus, di mana Pemerintah Daerah berada?
Inilah kota kita. Kota yang sering diagungkan sebagai kota budaya, peninggalan para raja Sumenep yang telah meletakkan fondasi spiritualitas dalam wujud Masjid Jamik di jantung kota. Masjid dengan ornamen arsitektur yang menyerap dari beragam ras; China, India, Arab, dan Jawa-Madura. Inilah fondasinya: spiritualitas. Jadilah Sumenep memiliki sumber inspirasi spiritual, Masjid Jamik. Ke sanalah seharusnya seluruh tata ruang dikiblatkan. Itu dulu, kawan.
Sekarang? Anda lihat sendiri. Sumenep tumbuh menjadi kota yang sangar. Sangar terhadap rakyat kecil. Sangar terhadap spiritualitas. Tata ruang yang dibangun seluruhnya terserap dalam balutan ekonomi semata, komoditi dan komodifikasi. Itu pun eksklusif, tata ruang didominasi pengusaha-penguasa sebagai pemiliknya. Atau orang-orang yang bangga di lingkarannya. Belum investasi yang masuk dari luar, memangsa lahan daratan, pesisir, mengeruk laut, dan seterusnya. Rakyat kecil cukup di pojok, di pinggir, dan di ruang-ruang pengap yang semakin sempit sambil berkeringat-keringat mencari penghidupan. Inikah peradaban? Inikah the soul of Madura?
Wallahu a'lam.
Sumenep, 20 Juli 2025
Keterangan foto: Jalan dekat Masjid, Gereja, dan Kelenteng, tempat penjual buah berjualan, kini kosong melompong.
Link berita:
1. Hotel Myze Dibangun di Kawasan Resapan : https://mediajatim.com/2025/05/14/hotel-mayze-dibangun-di-kawasan-resapan-air-dlh-sumenep-benarkan-alih-fungsi-lahan/#:~:text=Hotel%20Myze%20Dibangun%20di%20Kawasan,Alih%20Fungsi%20Lahan%20%7C%20Media%20Jatim
2. PKL Pabian Digusur : https://beritajatim.com/masuk-zona-merah-pemkab-sumenep-gusur-pkl-pabian