Pada mulanya bukan senjata. Bukan pasar. Bukan
kekuasaan. Bahkan bukan bahasa. Peradaban dimulai dari satu tindakan kecil yang
sangat manusiawi: membersihkan tempat tinggal.
Bayangkan manusia pertama yang lelah berpindah-pindah,
lalu menemukan gua sebagai tempat berlindung. Di sana mereka berteduh dari
hujan, sembunyi dari hewan buas, dan mulai menata diri. Dinding gua yang dingin
dan kosong mulai diisi dengan lukisan-lukisan sederhana. Mungkin bukan untuk
dipamerkan, tapi untuk mengingat. Untuk menandai bahwa "kami pernah ada di
sini".
Gua pun punya batas. Kadang banjir. Kadang lembab.
Maka manusia mulai naik ke dataran yang lebih tinggi. Mereka mencoba tinggal di
atas pohon, tapi angin bisa menggoyangnya. Lalu manusia belajar—belajar dari
semut yang membuat terowongan, dari burung yang membangun sarang. Dari sanalah,
rumah mulai dibangun.
Rumah-rumah pertama itu sederhana. Dinding dari tanah
liat. Atap dari dedaunan. Tapi di situlah peradaban tumbuh. Sebab ketika
manusia sudah punya tempat tinggal, mereka mulai peduli dengan sekitarnya.
Mereka menyapu halaman, menanam bunga, menata batu-batu di depan rumah. Mereka
mulai menanam ubi, singkong, dan sayur mayur di sekitar rumah. Maka ruang hidup
itu bukan hanya tempat berlindung, tapi menjadi tempat berkembang.
Di situlah keindahan pertama lahir. Dan dari
keindahan, lahirlah kesenian.
Seringkali kita mengira bahwa kebudayaan itu agung,
tinggi, atau jauh. Harus ada panggung besar, upacara sakral, atau campur tangan
kekuasaan. Padahal, akar kebudayaan justru sangat sederhana. Ia tumbuh dari
keinginan manusia untuk hidup layak, tenteram, dan nyaman.
Sebelum politik, sebelum ekonomi, manusia hanya ingin
tiga hal: sandang, pangan, dan papan. Dan dari papan—tempat tinggal—muncullah
segala bentuk penataan. Lingkungan dibersihkan, kebun ditanam, halaman
dipercantik. Inilah awal mula tatanan. Inilah asal-muasal estetika.
Dan perempuan punya peran penting di situ. Mereka
tidak ikut berburu ke hutan, tapi merekalah yang merawat rumah. Mereka yang
menanam sayur di halaman. Mereka yang memetik daun dan buah-buahan. Mereka yang
tahu bahwa kesejahteraan bisa tumbuh tanpa harus berburu—cukup dengan menanam
dan merawat.
Perempuanlah penjaga keseimbangan pertama. Dari tangan
mereka, keseharian menjadi nyaman. Dari kenyamanan itu, manusia bisa bermimpi,
bisa menggambar, bisa bernyanyi, bisa menari. Maka jangan heran kalau kesenian
selalu lahir dari rumah—bukan dari istana.
Ketika seorang ibu menyanyi menidurkan anaknya, itu
sudah seni. Ketika seorang anak menggambar di tanah dengan ranting kayu, itu
juga seni. Ketika seseorang menata batu agar tampak indah di sudut halaman, ia
sedang melukis dengan benda. Seni bukan milik istana, bukan pula monopoli
orang-orang besar. Ia tumbuh dalam kehidupan sehari-hari, dalam tindakan kecil
yang penuh kesadaran.
Di Madura, kita mengenal taneyan lanjang—ruang hidup
yang tak hanya fisik, tetapi juga sosial dan spiritual. Di sanalah nilai-nilai
diwariskan, relasi dibentuk, dan harmoni dijaga. Taneyan lanjang adalah contoh
bagaimana tempat tinggal bukan hanya tempat tinggal, tetapi juga jantung
kebudayaan. Di situ anak-anak belajar bicara, mengenal tetua, menghormati orang
tua, serta memahami tata hidup yang rukun.
Taneyan lanjang bukan sekadar deretan rumah. Ia adalah
sekolah pertama, panggung pertama, dan ladang pertama. Di tempat itulah
generasi demi generasi belajar merawat nilai, menjaga kebersihan, dan mengolah
keindahan. Maka benar bila kita katakan, peradaban tidak dibangun di ruang
sidang atau ruang rapat—ia tumbuh dari rumah.
Kita percaya bahwa kebudayaan bukan milik kalangan
elite. Kesenian tidak harus rumit. Kita semua bisa memulainya dari hal kecil:
membersihkan pekarangan, merawat taman, menyulam, menggambar di tembok rumah,
menyanyi untuk anak-anak. Semua itu adalah bentuk keberadaban.
Itulah kenapa kami percaya:
Fondasi dasar kesenian adalah keindahan, dan fondasi
keindahan adalah kebersihan.
Jangan remehkan tindakan membersihkan. Di dalamnya ada
niat untuk merapikan hidup. Untuk mempercantik ruang. Untuk membuat orang lain
nyaman. Dan kenyamanan adalah syarat utama lahirnya peradaban.
Peradaban bukan hanya soal pencapaian besar. Ia juga
tentang bagaimana kita memperlakukan lingkungan. Bagaimana kita berbicara
dengan sesama. Bagaimana kita menata ruang tempat tinggal. Ketika manusia bisa
duduk tenang di pekarangan yang bersih, menikmati suara angin, atau melihat
bunga mekar, di situlah peradaban bekerja diam-diam.
Hari ini, ketika segala hal tampak serba besar dan
cepat, kita mungkin lupa pada akar. Kita sibuk mengejar pembangunan fisik, tapi
lalai menata rumah. Kita mengagumi bangunan pencakar langit, tapi tak sempat
menanam satu pohon. Kita merayakan festival seni besar-besaran, tapi melupakan
nyanyian ibu di dapur.
Dengan ini,
kami ingin mengajak kita kembali ke asal. Kembali ke rumah. Kembali ke
kebersihan. Kembali ke tindakan-tindakan sederhana yang selama ini telah
membangun kita sebagai manusia. Karena yang paling mendasar dari manusia adalah
keinginan untuk merasa tenteram.
Maka jangan heran jika dalam sejarah, bangsa-bangsa
besar selalu lahir dari masyarakat yang mampu merawat ruang hidupnya. Bukan
hanya membangun, tapi menjaga. Bukan hanya menumpuk, tapi menata. Karena
peradaban bukan tentang kekuasaan semata. Ia tentang rasa, tentang seni,
tentang keseimbangan.
Dan semua itu berawal dari rumah yang bersih.
Bila kita ingin membangun masa depan, mulailah dari
rumah. Bila kita ingin merawat budaya, mulailah dari keluarga. Bila kita ingin
melestarikan kesenian, lihatlah halaman rumah kita: apakah sudah bersih? Apakah
bunga-bunganya tumbuh? Apakah anak-anak kita sudah menyanyi riang?
Karena mungkin, kita tak sedang membesarkan anak-anak
kita semata. Kita sedang membesarkan generasi pencipta peradaban.
Dan mungkin, kita tidak sekadar menyapu halaman. Kita
sedang menyapu jalan menuju kebudayaan yang luhur.