Lalampan.com
– 1446. Di tengah hiruk-pikuk dunia yang tak pernah berhenti bergerak, kita sering lupa
bahwa sebenarnya dunia ini sangat sederhana. Jika mau jujur dan
menyederhanakannya, dunia ini sesungguhnya punya empat warna manusia: kaya dan
miskin, cerdas dan kurang peduli akan ilmu. Empat kutub yang tampaknya jauh,
tapi sesungguhnya mereka semua berjuang untuk tiga hal yang sama—sandang,
pangan, dan papan.
Bayangkan saja, seorang pengusaha sukses dan seorang
buruh pabrik, pada akhirnya sama-sama ingin punya rumah yang nyaman, makanan
yang cukup di meja, dan pakaian yang layak dikenakan. Perbedaannya? Mungkin
hanya di merek baju atau ukuran rumah. Tapi esensinya? Sama.
Kecerdasan bukan soal gelar atau profesi, melainkan
soal seberapa terbuka seseorang pada ilmu pengetahuan yang bisa mempermudah
perjalanan hidupnya. Ada yang dengan mudah menerima pelajaran baru,
menyesuaikan diri, dan terus belajar agar hidupnya lebih ringan. Ada pula yang
menolak tawaran ilmu, merasa cukup dengan cara lama, walaupun kadang cara itu
justru membuat hidup jadi lebih berat.
Dunia terasa rumit karena kita sendiri yang membuatnya
rumit. Kita membangun tembok-tembok sosial yang tinggi, membagi manusia menjadi
kelas-kelas berdasarkan harta dan seberapa giat mereka belajar. Padahal, jika
kita menengok ke balik semua itu, kita hanyalah makhluk yang sama-sama butuh
makan, pakaian, dan tempat berteduh.
Di sebuah desa kecil di lereng gunung, hidup mungkin
sederhana, tapi ada nilai besar di sana: keluarga yang saling menjaga, gotong
royong, dan rasa cukup yang tulus. Di kota besar, orang-orang sibuk berbicara
soal properti dan gaya hidup, tapi sesungguhnya mereka juga hanya ingin makan,
punya baju, dan pulang ke rumah yang hangat.
Kadang, kita lupa bahwa kebutuhan dasar manusia tidak
pernah berubah, meski zaman terus berganti. Sandang, pangan, dan papan adalah
fondasi kehidupan yang tak tergantikan oleh apapun.
Sayangnya, kebutuhan dasar kini sering disulap menjadi
simbol status. Pakaian bukan lagi sekadar untuk menutup badan, tapi untuk
menunjukkan “kelas.” Makanan bukan hanya untuk kenyang, tapi juga untuk
dipamerkan di media sosial. Rumah bukan sekadar tempat berteduh, tapi ajang
unjuk prestasi dan investasi.
Ini membuat banyak dari kita tersesat, terlalu sibuk
mengejar hal yang sebenarnya tak kita perlukan, sampai lupa bahwa kebahagiaan
sejati bukan berasal dari berapa banyak yang kita punya, melainkan dari
seberapa cukup kita merasa.
Pernahkah kita perhatikan orang yang selalu mengeluh
meski punya banyak harta? Atau mereka yang selalu gelisah walaupun punya
segudang ilmu? Itu karena mereka lupa satu hal: hidup itu bukan perlombaan
menjadi yang terbaik, tapi perjalanan menemukan ketenangan.
Di sudut lain dunia, ada mereka yang mungkin tidak
beruntung secara materi, atau tidak terlalu rajin mencari ilmu, tapi mereka
hidup dengan penuh rasa syukur dan kehangatan. Mereka mungkin tidak memiliki
segala sesuatu, tapi punya sesuatu yang tak ternilai: rasa cukup dan
kebersamaan.
Pelajaran terbesar dari kehidupan sederhana ini adalah
bahwa hidup yang bermakna bukan soal banyaknya benda atau gelar, tapi soal rasa
cukup yang tulus. Di banyak komunitas tradisional, hidup masih berkisar pada
pemenuhan tiga kebutuhan dasar itu, tanpa pusing soal dunia yang serba cepat
dan rumit.
Kita tak bisa menolak kemajuan. Teknologi dan ilmu
pengetahuan membawa banyak manfaat. Tapi ketika kita terlena dan lupa akar
kebutuhan kita, kita justru terjebak dalam pusaran ambisi tanpa ujung.
Anak-anak dididik untuk menjadi yang paling pintar,
bukan yang paling bahagia. Pemuda diajarkan untuk jadi yang paling kaya, bukan
yang paling bermakna. Akhirnya, banyak dari kita yang merasa hampa, padahal
segala sesuatu sudah kita miliki.
Salah satu masalah dunia saat ini adalah ketimpangan
dalam pemenuhan kebutuhan dasar. Ketika sebagian memiliki berlebihan, sebagian
lain harus kekurangan. Ketika tanah, makanan, dan rumah dijadikan komoditas
yang diperebutkan, kemiskinan dan kelaparan pun tak terelakkan.
Alam sebenarnya menyediakan cukup bagi semua orang,
jika dikelola dengan bijak dan ilmu pengetahuan dimanfaatkan untuk kepentingan
bersama.
Empat warna manusia — kaya, miskin, cerdas, dan yang
belum terbuka pada ilmu — bukan alasan saling menjatuhkan. Kaya seharusnya
berbagi, cerdas membimbing, miskin tidak dipandang rendah, dan yang belum
terbuka bisa diberi kesempatan untuk belajar. Kita semua adalah satu kesatuan
manusia yang sama-sama butuh tiga hal sederhana.
Di tengah derasnya informasi dan kemajuan teknologi,
sudah saatnya kita bertanya: Apakah hidup kita sudah cukup? Apakah kita masih
mengejar hal yang sebenarnya tak perlu? Bisakah kita hidup lebih sederhana,
lebih bersyukur, dan lebih damai?
Revolusi terbesar dalam hidup bukan soal materi, tapi
soal cara pandang: dari ingin selalu lebih, menjadi ingin cukup; dari kompetisi
melelahkan, menjadi berbagi yang menenangkan; dari gengsi, menjadi empati.
Dengan begitu, kita akan menemukan makna hidup yang
sesungguhnya: bukan seberapa tebal dompet atau seberapa tinggi IQ, tapi
seberapa tulus kita menjalani hari demi hari.
Karena hidup bukan soal siapa yang tercepat mencapai
puncak, tapi siapa yang bisa melangkah dengan hati ringan.
Dunia memang penuh warna: kaya, miskin, cerdas, dan yang masih belajar. Tapi seperti pelangi, semua warna akan indah jika tahu tempatnya masing-masing. Hidup, meski hanya soal tiga rasa: kenyang, aman, dan diterima, bisa jadi kisah luar biasa kalau kita tahu cara mensyukurinya.