Lalampan.com – 1446. Di sudut sepi Kota London, tempat
lampu-lampu tak secerah sorak-sorai di Wembley atau parade pesta di Stamford
Bridge, ada satu klub yang duduk memeluk lutut, menatap kosong jalan basah
seusai hujan: Arsenal.
Musim telah berlalu, dan trofi-trofi telah terangkat
tinggi. Di sebelah barat, Chelsea mengangkat UEFA Conference League dengan
senyum Cole Palmer yang menembus malam Polandia. Di sisi utara, Tottenham
Hotspur menari dalam kebangkitan dari tidur panjang dengan gelar Liga Europa
yang sudah belasan tahun tak mereka kecap. Di selatan, Crystal Palace
membuktikan keberanian burung elang yang mencetak sejarah: pertama kali juara
Piala FA, langsung jadi legenda di Selhurst Park.
Tak ketinggalan, Arsenal Women menjungkirbalikkan
Barcelona dan merebut Liga Champions Wanita—sebuah kemenangan indah yang
memberi harapan.
Namun Arsenal pria, sang pemilik meriam yang dulu
gagah perkasa, kini hanya mampu menjadi panggung bagi tarian burung dan singa.
Mereka finis di posisi kedua Liga Inggris, seperti deja vu yang membosankan.
Mereka jatuh di semifinal Liga Champions oleh PSG, seperti dongeng yang
dipotong sebelum akhir bahagia. Tidak ada pita, tidak ada trofi, hanya peluh
yang tak berbuah prestasi.
London meriah. London berpesta. London bergetar oleh
sorakan juara.
Kecuali satu pojokan kecil di Holloway, Islington. Di
sanalah, sang Meriam duduk diam, ringkih, menangis pelan. Di sekelilingnya,
mural-mural legenda bersinar samar dalam kesunyian. Henry, Bergkamp,
Vieira—semua seperti menoleh, tapi tak mampu mengubah nasib.
Musim ini, Arsenal bukan pecundang. Mereka hanya belum
diberi giliran bahagia. Tapi sepi itu menyakitkan. Saat rival mengangkat piala
dan kota menjadi panggung kemegahan, Arsenal menghapus air mata diam-diam.
Mungkin musim depan ceritanya berubah. Tapi untuk saat
ini, biarkan mereka menangis dulu—di pojokan Kota London yang tahu betul
rasanya menanti terlalu lama.