Di antara gemuruh stadion, dentuman drum suporter, dan
suara peluit panjang wasit, ada air mata yang jatuh. Entah dari pemain yang
tersungkur ke tanah, atau dari suporter yang berdiri kaku di tribun, memeluk
syal klub kesayangannya erat-erat, seolah hidup dan hatinya ikut tergulung
dalam pertandingan yang baru saja selesai. Sepak bola, katanya, hanyalah
permainan. Hanya soal siapa yang mencetak gol lebih banyak. Tapi mengapa, dari
permainan sederhana itu, begitu banyak orang rela menangis?
Mungkin alasannya tidak sesederhana itu. Sepak bola
bukan hanya soal menang atau kalah. Ia seperti potongan kehidupan yang
dipadatkan menjadi 90 menit. Di dalamnya, ada perjuangan, harapan, kejutan,
pengkhianatan, dan kadang—keajaiban. Permainan ini mengandung drama lebih padat
dari opera sabun, lebih emosional dari puisi cinta, dan kadang lebih
menyakitkan dari perpisahan dengan orang tercinta.
Orang-orang tidak hanya menangisi kekalahan, tetapi
juga menangisi kemenangan. Ketika tim kesayangan mengangkat piala setelah
puluhan tahun menunggu, ketika pemain idola mencetak gol terakhir sebelum
pensiun, ketika klub kecil yang nyaris bangkrut justru menumbangkan raksasa di
pertandingan yang tak pernah dilirik orang. Semua itu seperti kisah-kisah ajaib
yang tumbuh di dunia nyata. Dan siapa yang tidak akan menangis ketika keajaiban
itu benar-benar terjadi di hadapan mata?
Ada banyak yang mencibir: "Hanya bola
dikejar-kejar, kenapa harus lebay?" Tapi mereka lupa bahwa yang dikejar
bukan cuma bola. Yang dikejar adalah kebanggaan, pelarian, dan
seringkali—kenangan. Sepak bola mengikat orang pada momen-momen penting dalam
hidup mereka. Seorang anak mungkin mengingat ayahnya bukan karena banyaknya
waktu yang mereka habiskan bersama, tapi karena pertandingan final yang mereka
tonton sambil makan ringan di depan TV. Ada yang mengenang kota asalnya
bukan dari bentuk bangunannya, tapi dari warna klub lokal yang selalu mereka
bela, meski kini tinggal ribuan kilometer jauhnya.
Sepak bola itu semacam jembatan. Ia menyambungkan masa
lalu dan masa kini, orang-orang yang hidup dan yang telah tiada, serta jutaan
orang yang bahkan tak saling mengenal satu sama lain. Ketika seseorang menangis
karena timnya kalah, bisa jadi ia sedang mengingat seseorang yang sudah tiada,
yang dulu selalu duduk di sebelahnya di stadion. Tangisan itu bukan hanya
tentang skor, tapi tentang kehilangan yang lebih dalam dari yang bisa dipahami
oleh siapa pun.
Permainan ini juga menjadi ruang aman untuk merasakan
emosi yang tidak selalu mudah diungkapkan dalam kehidupan sehari-hari. Di luar
sana, menangis seringkali dianggap lemah, apalagi untuk laki-laki. Tapi dalam
sepak bola, menangis justru jadi hal yang paling manusiawi. Pemain top dunia
pun pernah berlutut dan meneteskan air mata di tengah lapangan. Tangisan itu
bukan tanda lemah, tapi bukti bahwa mereka sepenuh hati. Dan para suporter,
saat melihat timnya kalah atau menang, merasa punya hak untuk merasa rapuh.
Sebab sepak bola memperbolehkan kita jadi manusia seutuhnya: penuh semangat,
penuh luka, dan kadang—penuh air mata.
Ironisnya, justru karena ini hanya permainan, ia jadi
tempat kita menaruh begitu banyak. Kita tahu hidup terlalu rumit, dunia terlalu
keras, dan tak semua harapan bisa terwujud. Maka kita simpan harapan-harapan
itu di tempat yang lebih kecil, lebih sederhana: di lapangan hijau berukuran
105 x 68 meter. Di sana, kita menaruh impian yang tak bisa kita kejar sendiri.
Ketika klub kita berhasil, kita merasa berhasil. Ketika mereka gagal, kita juga
gagal. Semua terhubung, padahal kita tidak ikut main.
Satu hal yang sering luput dari perhatian: sepak bola
adalah panggung kolektif untuk perasaan. Ribuan, bahkan jutaan orang, bisa
merasakan hal yang sama di saat yang sama. Di dunia yang sering memecah kita
jadi kelompok-kelompok, klub-klub, agama, ras, dan ideologi, sepak bola justru
mempersatukan. Ketika gol tercipta, siapa pun yang mencintai tim itu akan
melompat serentak. Tidak peduli kaya atau miskin, tua atau muda, sopan atau
urakan—semuanya bersatu dalam euforia. Dan jika gol itu dianulir, atau tim itu
kalah, maka semuanya juga bersatu dalam kesedihan. Tangisan itu menjadi bahasa
universal yang tak butuh terjemahan.
Tentu saja, tidak semua orang menangis karena sepak
bola. Tapi yang menangis, mereka bukan bodoh. Mereka hanya sedang jujur
terhadap diri mereka sendiri. Karena di tengah dunia yang menuntut kita untuk
terus kuat dan rasional, sepak bola membolehkan kita untuk lemah, untuk larut,
untuk mencintai tanpa logika. Cinta pada klub yang terus-menerus kalah, pada
tim nasional yang tak pernah juara, pada pemain yang terus dicaci. Tapi tetap
dicintai. Di situlah keajaibannya. Cinta yang tulus, yang tak meminta balasan.
Menangisi sepak bola, dengan begitu, bukan soal skor.
Itu soal kehidupan. Tentang kehilangan yang tidak bisa dijelaskan, tentang
cinta yang tak tergantikan, dan tentang harapan yang terus menyala meski
berkali-kali padam. Tangisan itu mungkin terlihat berlebihan bagi yang tidak
mengerti, tapi bagi yang tahu rasanya—itu adalah bentuk penghormatan. Kepada
permainan, kepada kenangan, kepada orang-orang yang pernah duduk di sebelah
kita, dan kepada diri sendiri yang pernah bermimpi terlalu besar dalam dunia
yang kecil.
Sepak bola, walau katanya hanya permainan, telah menjadi altar tempat banyak orang menaruh jiwa dan air mata mereka. Maka, biarlah mereka menangis. Sebab di sanalah, mereka sedang hidup sepenuhnya.