Lalampan.com – 2446. Di bawah langit kelabu München
pada malam musim semi 2012, Chelsea menciptakan sejarah yang bahkan para
pendukungnya tak yakin bisa benar-benar terwujud. Bertahan dengan gigih
sepanjang pertandingan final Liga Champions di Allianz Arena, klub London Barat
itu mengunci kemenangan lewat drama adu penalti melawan Bayern München di
markas lawan. Roberto Di Matteo, yang hanya beberapa bulan sebelumnya menjabat
sebagai manajer sementara, tiba-tiba menjadi legenda instan. Malam itu, Chelsea
menapaki tangga tertinggi sepak bola Eropa—dan untuk pertama kalinya, membawa
pulang trofi si Kuping Besar.
Namun cerita Chelsea bukan sekadar tentang satu malam
di Jerman. Klub ini telah menulis banyak kisah di panggung Eropa. Sembilan
tahun berselang, pada 2021, Chelsea kembali berdiri di podium tertinggi, kali
ini di bawah kepemimpinan Thomas Tuchel. Mengandalkan taktik presisi dan
pertahanan solid, mereka menaklukkan Manchester City di final yang berlangsung
di Porto. Kemenangan ini menegaskan bahwa Chelsea bukan sekadar pelintas
sejarah—mereka adalah pelakunya.
Tak lama setelah gelar Liga Champions kedua itu,
Chelsea membuktikan bahwa mereka bukan hanya raja di Eropa, tetapi juga
penguasa dunia. Pada Februari 2022, mereka menuntaskan penantian panjang dengan
menjuarai **Piala Dunia Antarklub FIFA**. Di bawah arahan Thomas Tuchel, klub
ini mengalahkan Palmeiras dalam laga final di Abu Dhabi. Trofi itu melengkapi
mozaik kemenangan Chelsea di berbagai level, menjadikan mereka sebagai klub
yang benar-benar global.
Antara dua kemenangan Liga Champions itu, Chelsea juga
menjelajah medan Eropa lainnya. Pada 2013 dan 2019, trofi Liga Europa mereka
raih dengan cara yang tak kalah meyakinkan. Bahkan pada 2013, Chelsea
menorehkan tonggak langka sebagai satu-satunya klub yang pernah memegang gelar
Liga Champions dan Liga Europa secara bersamaan. Klub ini tak berhenti di
situ—trofi-trofi lainnya seperti Piala Winners pada tahun 1971 dan 1998, serta
Piala Super Eropa pada 1998 dan 2021, menjadikan Chelsea sebagai klub pertama yang
berhasil mengoleksi lima trofi top di benua biru.
Pencapaian-pencapaian itu tak mungkin terwujud tanpa
deretan nama yang pernah duduk di kursi panas Stamford Bridge. John Tait
Robertson, gelandang sayap asal Skotlandia, adalah sosok pertama yang dipercaya
menangani klub pada 1905, sekaligus juga bermain di lapangan. Ia hanya bertahan
setahun, tapi dari sanalah cerita panjang dimulai. David Calderhead kemudian
mencatatkan diri sebagai manajer terlama, memimpin klub dari 1907 hingga 1933
dengan 966 pertandingan.
Beberapa manajer lain datang dan pergi, meninggalkan
jejak beragam. Ada yang dikenang sebagai penyelamat, seperti Roberto Di Matteo.
Ada pula yang dianggap gagal, seperti Graham Potter dengan masa jabatan singkat
hanya 31 pertandingan. Bahkan legenda klub seperti Frank Lampard, yang pernah
memimpin dalam dua periode—pertama sebagai manajer permanen, kemudian kembali
sebagai manajer sementara—harus menerima kenyataan pahit: menjadi manajer
dengan persentase kemenangan terendah.
Ted Drake adalah nama yang membawa Chelsea mencicipi
gelar liga pertama pada musim 1954–1955. Dave Sexton mempersembahkan trofi
Eropa pertama melalui Piala Winners tahun 1971. Namun nama yang paling banyak
diingat dalam hal prestasi adalah Jose Mourinho. Dengan gaya nyentrik dan hasil
yang gemilang, ia mempersembahkan delapan trofi untuk klub dalam dua masa
jabatannya. Carlo Ancelotti pun turut memperkaya sejarah dengan membawa Chelsea
meraih gelar ganda domestik pada 2010—sebuah pencapaian langka di Liga Inggris.
Dan kini, sejarah terus ditulis. Per 1 Juli 2024, Enzo
Maresca mengambil alih kemudi. Ia menjadi bagian dari daftar panjang manajer
Chelsea—31 manajer permanen, tujuh sementara, dan enam pelaksana tugas—yang
semuanya menambah warna dalam perjalanan panjang klub ini. Dari masa-masa awal
hingga dominasi Eropa dan dunia, Chelsea telah bertransformasi dari klub kelas
menengah di London menjadi raksasa sepak bola global. Perjalanan yang tidak
selalu mulus, tapi selalu penuh cerita.