Lubang, Aspal dan Do'a



#CelotehPengamatSampah

Tinggal di desa adalah sebuah pengalaman yang tidak semua orang bisa rasakan secara utuh. Apalagi jika desanya berada cukup jauh di pedalaman, bukan di pinggiran jalan utama yang setiap harinya dilintasi kendaraan dengan kecepatan tinggi. Bukan pula dekat dengan jalan kabupaten, jalan provinsi, apalagi jalan nasional yang biasanya sudah mulus dan penuh penerangan. Kami hidup jauh dari semua itu, di balik perbukitan, di antara ladang dan sawah, menepi dari pusat-pusat kekuasaan dan pembangunan.

Di desa kami, setiap kali ingin bepergian, entah itu ke pasar, ke sekolah, ke PusKesMas, atau sekadar bersilaturahmi ke tetangga kampung sebelah, kami harus melewati jalan yang penuh dengan luka. Luka yang terbuka, menganga, mengajak setiap kendaraan untuk menari, meliuk, menghindar, atau bahkan terperosok. Jalan yang bolong-bolong, seperti kenangan lama yang belum selesai dipulihkan. Itulah jalan pedesaan kami. Sebagai warga biasa yang tidak punya jabatan, tidak punya kekuasaan, bahkan mungkin tidak punya suara yang didengar oleh pengambil kebijakan, satu-satunya kekuatan yang kami punya hanyalah doa.

Ya, doa. Doa yang sederhana, tapi kami yakini penuh kuasa. Kami tidak minta banyak. Hanya berharap agar jalan desa ini suatu saat mendapat perhatian serius, tidak sekadar dilirik lalu ditinggal, tidak sekadar disebut dalam pidato lalu dilupakan, tidak hanya muncul dalam proposal yang akhirnya hanya menjadi arsip. Jalan rusak itu bukan wanita yang butuh perhatian. Jalan rusak itu butuh perbaikan nyata. Bukan janji manis. Bukan foto-foto pencitraan. Tapi tindakan yang konkret, pengerasan, pengaspalan, penataan.

Saya tahu, saya hanya rakyat kecil, suara saya mungkin terdengar seperti bisikan angin di antara ranting-ranting bambu. Tapi saya tetap berdoa. Karena agama saya mengajarkan bahwa doa adalah senjata orang beriman, bahkan senjata paling kuat bagi yang lemah. Dan jika doa itu bukan untuk diri sendiri, melainkan untuk kepentingan bersama, untuk kenyamanan semua yang melintasi jalan itu, apakah itu bukan sebuah ibadah juga? Maka saya memutuskan, setiap hari, dalam lima waktu, saya menyelipkan doa kecil itu. Semoga jalan ini diperbaiki. Semoga tidak hanya saya, tapi semakin banyak yang ikut mendoakan. Mungkin saja, jika doa-doa itu bergandeng tangan, bergotong royong, langit akan terbuka dan permintaan itu dikabulkan.

Saya tidak berniat mengkritik. Bukan karena takut, tapi karena saya merasa tidak punya cukup daya untuk bersuara dengan keras. Maka saya memilih jalur sunyi: berdoa. Mungkin bagi sebagian orang, ini tampak seperti bentuk keputusasaan. Tapi bagi saya, ini adalah bentuk harapan paling dalam. Karena saya tahu, jalan ini bukan hanya dilalui oleh saya dan keluarga saya. Di atas jalan yang rusak ini, setiap pagi ada guru-guru yang mengayuh motor bututnya, membawa semangat untuk menyampaikan ilmu. Ada kiai-kiai kampung, para sesepuh, yang dengan tulus ikhlas datang memberi nasihat, menyampaikan petuah dan wejangan. Ada bidan desa yang membawa tas kecil berisi alat pemeriksaan. Ada warga yang hendak berobat. Ada orang tua yang menjenguk anaknya. Dan ya, kadang ada perangkat desa juga — meski itu mah biarin aja lah 🤭🤭🤭.

Coba bayangkan. Guru yang awalnya semangat hendak memberi motivasi kepada siswanya, tiba-tiba kehilangan gairah karena sepanjang jalan harus berkali-kali melompat di atas lubang, menahan nyeri di punggung, menahan kesal di hati. Bisa jadi semangat mengajarnya perlahan terkikis, ide-ide cemerlang yang ia siapkan semalaman, terjatuh satu per satu ke dalam lubang jalan, ikut tersangkut di plastik-plastik sampah yang berserakan, menempel di daun-daun memba yang pahit. Begitu sampai ke sekolah, ia bukan lagi pembawa inspirasi, tapi orang yang cemberut karena lelah dan sakit. Apa yang bisa kita harapkan dari pendidikan jika guru-gurunya sudah lelah sebelum mengajar?

Begitu pula dengan tenaga kesehatan. Mereka hendak melakukan skrining, pemeriksaan, dan deteksi dini penyakit-penyakit tak menular. Tapi sebelum memeriksa orang lain, justru mereka sendiri yang nyaris tidak sehat. Punggung sakit, kepala pusing, perut mual karena guncangan motor. Ironis, bukan? Yang datang membawa kesehatan, malah kehilangan kesehatannya di jalan. Lucu, tapi tragis.

Saya sering berpikir, memperbaiki jalan pedesaan bukan sekadar soal infrastruktur. Ia adalah simbol penghormatan. Menghormati guru yang mengajar. Memuliakan kiai yang membimbing. Menyambut petugas kesehatan yang menyembuhkan. Membuka jalan agar generasi masa depan bisa melangkah lebih cepat, lebih aman. Bukan semata-mata proyek, bukan sekadar angka-angka dalam RAPBD, tapi bentuk paling nyata dari kehadiran negara.

Karena sesungguhnya, ini bukan hanya tentang jalan. Ini adalah tentang tantangan. Tantangan nyata yang dihadapi oleh guru-guru desa yang ingin mencerdaskan bangsa, oleh tenaga kesehatan yang ingin melayani masyarakat, oleh warga desa yang ingin hidup lebih layak. Sebuah tantangan yang terus berlangsung, dari tahun ke tahun, yang entah mengapa, sulit sekali dirubah oleh kekuasaan. Padahal, yang mereka minta bukanlah fasilitas mewah, cukup jalan yang tidak membahayakan. Tapi tampaknya, suara-suara dari pedalaman ini terlalu sayup untuk didengar dari ruang-ruang kekuasaan yang tinggi.

Kalau saya, rakyat biasa yang hanya bisa berdoa, dianggap tidak penting, tidak perlu diperhatikan, saya tak mengapa. Saya sudah terbiasa. Tapi tolong, lihatlah orang-orang yang setiap hari melintasi jalan ini. Mereka membawa ilmu, membawa harapan, membawa masa depan. Bukankah mereka pantas mendapatkan jalan yang layak?

Sekadar celoteh. Dari pengamat sampah. Tapi siapa tahu, dalam timbunan sampah itu, masih ada satu dua suara yang bernilai.

#CelotehPengamatSampah

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak