Berjibaku Dalam Kehampaan
Di sudut kamar yang pengap, seorang jomblo militan
menatap langit-langit dengan mata yang basah. Ia tidak menangis karena lemah,
justru karena kuat menahan semuanya sendiri. Air mata itu bukan air mata
kekalahan, melainkan bentuk perlawanan paling sunyi terhadap dunia yang gemar
merayakan pasangan dan membisukan kesendirian.
Ia bukan jomblo biasa. Ia jomblo yang sudah melewati
berbagai tahap: dari denial, harap-harap cemas, dicuekin, hingga tertawa keras
di pernikahan teman sambil bilang, “Bahagia, ya! Nanti aku nyusul… nganter
kado.” Di balik senyum lebarnya, ada kesepian yang tak pernah ia bagi, kecuali
pada malam-malam yang dingin dan sunyi—saat dunia tidur dan tidak ada yang akan
bertanya, “Kapan nikah?”
Orang-orang mengenalnya sebagai pribadi yang riang.
Aktif di kegiatan sosial, sering melempar candaan, dan rajin mengunggah foto
kopi dan buku di media sosial. Tapi tak ada yang tahu bahwa kadang, buku itu
tidak dibaca, hanya dipeluk. Kopi itu tidak dinikmati, hanya ditemani. Sebab
sebenarnya ia hanya ingin terlihat sibuk, agar tidak ada waktu untuk merasa
kosong.
Jomblo militan tidak anti cinta, hanya terlalu sering
kecewa. Ia pernah mencoba, pernah berharap, bahkan pernah percaya. Tapi dunia
tidak selalu ramah pada orang yang tulus. Kini, ia lebih memilih diam.
Menyimpan harapan di pojok hatinya, membiarkan cinta tumbuh dalam bentuk-bentuk
lain—seperti memberi waktu untuk teman, mendengarkan curhat sahabat, atau
mengelus kucing jalanan yang mendekat tanpa pamrih.
Kesepian itu kadang datang seperti angin: pelan, tak
terasa, tapi menggigilkan. Namun ia sudah terbiasa. Ia menjadikan kesepian
sebagai bahan bakar untuk berdiri. Alih-alih meratapi, ia menulis. Alih-alih
merunduk, ia berjalan lebih cepat. Orang-orang mengira ia baik-baik saja.
Bahkan terlalu bahagia untuk seorang yang tak punya pasangan. Padahal, justru
karena terlalu sering merasa hampa, ia belajar menambalnya dengan kekuatan yang
tak terlihat.
Ada hari-hari ketika suara detik jam terdengar seperti
dentuman. Ketika hujan terdengar seperti nyanyian ejekan. Ketika suara tawa
orang lain seperti cambuk yang menyuruhnya segera bahagia, padahal bahagianya
entah hilang di mana. Ada malam-malam di mana ia tidak menangis karena sedih,
tapi karena sudah lupa rasanya dicintai.
Ia bukan tidak ingin dicintai, ia hanya tidak ingin
asal mencintai. Ia percaya, bahwa menjadi sendiri bukan aib. Bahwa menjadi utuh
sendirian adalah modal untuk mencintai dengan benar—jika nanti saatnya tiba. Ia
tahu, cinta sejati tak datang dari keterpaksaan, apalagi ketergesaan.
Jomblo ini bukan korban. Ia pejuang. Ia bukan
pecundang yang meratapi nasib, melainkan penjelajah yang belum menemukan tempat
berlabuh. Ia bukan batu yang keras, tapi air yang lentur—bisa mengalir ke mana
saja, namun tetap tahu ke mana ingin pulang.
Dan malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, ia kembali menulis, menyeduh kopi, dan memeluk kesunyian. Mungkin sambil menangis. Tapi esok pagi, ia akan bangkit lagi, tersenyum pada dunia, seolah tak ada yang pernah patah di hatinya. Seolah ia tak pernah merindukan siapa pun yang tak pernah menoleh kepadanya.