KOTA SEBAGAI PANGGUNG WISATA
Di ufuk timur Madura, sebuah keris raksasa menjulang
ke langit. Ia disebut Tugu Keris, dibangun dengan anggaran negara sebesar Rp2,5
miliar, dimaksudkan sebagai lambang kejayaan Sumenep sebagai Kota Keris. Namun,
di balik gagahnya struktur beton ini, aroma tak sedap menyusup dari balik papan
proyek dan peta tata ruang: aroma dari tarian panjang antara pariwisata,
investor, dan kekuasaan lokal.
Pembangunan tugu ini bukanlah peristiwa tunggal. Ia
bagian dari mise-en-scène yang lebih besar—sebuah panggung tata ruang yang
disusun bukan berdasarkan keadilan spasial atau kebutuhan rakyat, tetapi pada
logika pertunjukan: kota sebagai panggung wisata. Dalam narasi ini, tugu-tugu
monumental bukan ditujukan untuk memperkuat ikatan sejarah masyarakat dengan
warisan budayanya, tetapi menjadi properti visual dalam pertunjukan yang
ditujukan bagi wisatawan, investor, dan kepentingan politik yang menyertainya.
Teori konspirasi tata ruang menyebut bahwa kota-kota
masa kini kerap dijadikan teater kapital: di depan tampak elok dan mengundang,
namun di balik panggung, berlangsung permainan tender, markup anggaran, dan
eksklusi rakyat dari proses pengambilan keputusan. Dalam koreografi ini,
investor memimpin irama, pemerintah menjadi koreografer, dan masyarakat menjadi
penonton sekaligus korban.
Namun ada peran lain yang tak kalah tragis dalam lakon
ini: para seniman dan budayawan. Dalam teori manipulasi kultural, mereka kerap
dijadikan instrumen legitimasi kekuasaan. Budaya yang semula lahir dari suara
rakyat berubah menjadi aksesori kekuasaan, dan seniman diseret masuk ke dalam
orbit birokrasi. Mereka diundang, diberi panggung, kadang diberi dana, lalu
diposisikan untuk merayakan proyek yang tak mereka rumuskan, apalagi
perjuangkan.
Ini adalah bentuk kooptasi yang halus namun kejam.
Dalam perayaan budaya, suara kritis dibungkam lewat undangan kehormatan. Dalam
festival, penyair kehilangan daya gugatnya, tergantikan oleh MC dan gemerlap
lampu. Maka proyek seperti Tugu Keris bukan hanya gagal melibatkan empu, tapi
juga menjinakkan budayawan agar bersorak, bukan bersuara.
Sutan Takdir Alisjahbana, dengan semangat rasional dan
progresifnya, niscaya akan menggugat keras kemunafikan ini. Baginya, kebudayaan
adalah daya hidup yang mendorong manusia berpikir, mencipta, dan merdeka.
Kebudayaan yang dijadikan alat justru kehilangan kebebasannya, dan bersama itu,
hilang pula martabatnya. Ia menjadi panggung untuk kekuasaan tampil heroik,
bukan cermin untuk masyarakat melihat dirinya sendiri.
Tugu Keris Sumenep, dalam segala kemegahannya, justru
menjadi lambang keterasingan budaya dari pelaku sejatinya. Sebuah simbol yang
kehilangan ruh, berdiri demi estetika wisata, dan menjadi bagian dari
koreografi kekuasaan.
Kita harus bertanya dengan jujur: untuk siapa kota ini
dibentuk? Untuk siapa monumen ini ditegakkan? Bila jawabannya adalah demi tamu
yang sebentar singgah dan investor yang jarang melihat mata rakyat, maka
sesungguhnya yang dibangun adalah panggung kosong—megah, tapi tanpa jiwa.
Kota bukanlah panggung bagi elite. Ia harus menjadi
rumah bagi rakyat. Jika kebudayaan hanya ditampilkan tapi tak dihidupkan, maka
yang kita saksikan bukanlah kemajuan, melainkan pementasan kemunduran.