"Nye’-Konye’ Gunong, Suara Kejujuran dari Panggung Sapparan Budaya"
Lalampan.com—1447—SUMENEP – Udara malam di Tastaman, Gapura,
terasa berbeda pada Sabtu (27/9/2025). Lampu-lampu panggung menyinari wajah
ratusan orang yang datang dari berbagai penjuru Sumenep. Riuh tepuk tangan
sesekali pecah, diselingi suara gamelan dan denting musik tradisional Madura
yang mengudara dari sound system. Malam itu adalah puncak Festival Sapparan
Budaya ke-4, sebuah perayaan tahunan yang digagas Lesbumi PCNU Sumenep sebagai
ruang bersama untuk menghidupkan kembali denyut kebudayaan Madura.
Di antara rangkaian acara yang padat, ada satu momen yang
menjadi pusat perhatian: orasi kebudayaan KH. Dardiri Zubairi, Wakil Ketua PCNU
Sumenep sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Nasy’atul Muta’allimin, Gapura
Timur. Dengan langkah tenang dan suara mantap, beliau menyampaikan gagasan yang
sederhana namun penuh makna, sebuah falsafah hidup yang berakar kuat dalam
masyarakat Madura: “Nye’-Konye’ Gunong.”
Makna Filosofis yang Mendalam
“Nye’-Konye’ Gunong,” kata Kiai Dardiri, adalah gambaran jati
diri orang Madura. Ia merujuk pada sikap apa adanya, jujur, dan tidak suka
berpura-pura. Nilai ini, menurutnya, bukan sekadar slogan, melainkan spirit
moralitas yang telah lama menjadi bagian dari denyut nadi kehidupan masyarakat
Madura.
"Orang Madura punya karakter yang unik. Mereka mungkin
keras di luar, tapi di dalamnya menyimpan kejujuran yang dalam. Mereka berani
tampil apa adanya, tidak menutupi jati dirinya. Itulah ‘Nye’-Konye’ Gunong’," ujar
Kiai Dardiri dalam orasinya.
Orasi ini sontak menjadi highlight festival. Para hadirin,
yang terdiri dari masyarakat umum, budayawan, hingga beberapa Ketua Lesbumi MWC
NU se-Kabupaten Sumenep, tampak larut dalam suasana. Beberapa mengangguk pelan,
seolah menemukan cermin atas keseharian mereka sendiri.
Festival yang Menyatukan
Festival Sapparan Budaya ke-4 ini tidak sekadar perayaan
seremonial. Sejak awal digagas, tujuannya adalah membuka ruang interaksi lintas
generasi. Masyarakat tidak hanya datang untuk menonton, tetapi juga
berpartisipasi dalam pameran seni, pertunjukan musik, dan diskusi kebudayaan.
Lesbumi PCNU Sumenep, sebagai penggerak utama yang pada FSB#4
Bekerjasama dengan Lesbumi MWCNU Gapura dan Nura Tastaman, berharap acara
semacam ini mampu menjembatani masa lalu dan masa kini, mengingatkan masyarakat
bahwa budaya bukan hanya peninggalan, melainkan identitas yang hidup.
"Budaya itu bukan barang museum. Ia hadir dalam kehidupan
sehari-hari, dalam bahasa, dalam perilaku, bahkan dalam cara kita menghormati
orang lain," ungkap salah satu panitia festival.
Resonansi Kebudayaan
Pidato Kiai Dardiri tentang “Nye’-Konye’ Gunong” memberi warna
tersendiri. Di tengah arus globalisasi yang sering menyeret orang untuk tampil
dengan topeng sosial, pesan tentang keberanian untuk jujur pada diri sendiri
terasa menohok.
Bagi masyarakat Madura, falsafah ini sebenarnya sudah lama
hidup. Orang-orang tua sering menekankan agar anak-anak mereka tidak
berpura-pura dalam pergaulan. Keaslian diri dianggap sebagai kekuatan, bukan
kelemahan. Orasi tersebut seakan menegaskan kembali nilai-nilai lama yang kian
tergerus zaman.
Wadah Pengetahuan dan Cinta Budaya
Festival Sapparan Budaya ke-4 juga menampilkan beragam
kesenian, mulai dari musik tradisional, pertunjukan teater, hingga pembacaan puisi
yang dipersembahkan oleh para Juara Lomba Baca Puisi se Madura. Kehadiran
masyarakat lintas usia memperlihatkan bahwa budaya Madura masih punya daya ikat
yang kuat.
Bagi Lesbumi, festival ini adalah wadah berbagi pengetahuan
dan pengalaman. Para pelaku seni bisa bertemu dengan generasi muda, sementara
masyarakat mendapat ruang untuk merayakan identitasnya.
"Kami ingin Sapparan Budaya ini bukan hanya menjadi
tontonan, tapi juga tuntunan. Ada ruang untuk belajar, ada ruang untuk
berdialog, dan tentu saja ada ruang untuk bergembira bersama," kata
salah satu pengurus Lesbumi PCNU Sumenep.
Menjaga Nyala Budaya
Malam semakin larut, namun semangat para peserta tidak surut.
Sorak-sorai, musik, dan gelak tawa bercampur menjadi satu, menandai bahwa
kebudayaan memang masih hidup dalam masyarakat.
Ketika acara mendekati akhir, pesan Kiai Dardiri tentang “Nye’-Konye’
Gunong” masih menggema. Spirit kejujuran, apa adanya, dan tidak berpura-pura
menjadi pengingat bahwa di balik segala perubahan zaman, identitas Madura tetap
kokoh jika dihidupi dengan kesungguhan.
Festival Sapparan Budaya ke-4 akhirnya bukan sekadar pesta
tahunan, tetapi juga sebuah pernyataan kolektif: bahwa budaya Madura layak
dirayakan, dijaga, dan diwariskan. Di panggung sederhana itu, sebuah filosofi
lama kembali bersinar, memberi arah dan harapan bagi generasi mendatang.
Kontributor: Lesbumi PCNU Sumenep