Basa Madura Nyapa dhari Panggung Sumenep: Addreng Tombu dhalem
FTBI 2025
SUMENEP. Lalampan.com — Deru tawa, lantunan tembang, dan
kata-kata yang lahir dari bahasa Madura menggema di Aula SMP Negeri 3 Sumenep
selama tiga hari, 21–23 Oktober 2025. Suasana yang biasanya diisi kegiatan
belajar berubah menjadi panggung kebanggaan bahasa Madura. Di situlah digelar Festival
Tunas Bahasa Ibu (FTBI) Kabupaten Sumenep 2025, ajang tahunan yang
mempertemukan pelajar dari berbagai SMP negeri dan swasta untuk mengekspresikan
identitas budaya mereka melalui kata, suara, dan ekspresi.
FTBI bukan sekadar lomba, melainkan juga ruang perjumpaan —
tempat bahasa, tradisi, dan kreativitas berkelindan. Di tengah arus modernisasi
yang kian cepat, kegiatan ini menjadi oase yang menegaskan bahwa bahasa Madura
bukan peninggalan, melainkan penanda kehidupan yang terus bertumbuh.
Festival ini diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten
Sumenep sebagai bagian dari gerakan nasional pelestarian bahasa daerah. Tahun
ini, kompetisi diikuti oleh puluhan sekolah dari berbagai kecamatan. Ada tujuh
cabang yang dipertandingkan: Mendongeng, Carakan, Pidato, Macapat, Menulis
Cerita (Cerpen), Baca Puisi, dan Lawakan Tunggal.
Selama tiga hari, panggung menjadi tempat lahirnya banyak
kisah.
Hari pertama, Selasa (21 Oktober 2025), dipenuhi dengan
suara-suara dongeng Madura dan lembaran aksara carakan yang dibacakan dengan
penuh khidmat. Di hari kedua, Rabu (22 Oktober 2025), peserta pidato dan
macapat mempersembahkan retorika dan irama sastra tradisional yang menggetarkan
jiwa.
Sementara hari terakhir, Kamis (23 Oktober 2025), menjadi
puncak festival dengan lomba Baca Puisi, Menulis Cerita, dan Lawakan Tunggal,
menghadirkan tawa, haru, dan kekaguman dari para penonton.
Dhara Campor Mardha Karya monumental Arach Jamali menjadi
puisi paling banyak dibaca dalam festival ini. Kalimat //Pottra nyelpettagi
tareka, //akerek mera pote// Majunge bume Nusantara// menjadi magnet tersendiri
yang mampu menggetarkan jiwa, teringat perjuangan masa penjajahan menuju
kemerdekaan yang sempurna sehingga Bumi Nusantara mampu dilindungi dengan
berkibarnya merah putih.
Tumbuhnya Tradisi Baru di Sekolah
Di banyak sekolah, persiapan untuk FTBI dilakukan dengan cara
sederhana namun penuh semangat. Ada yang berlatih di ruang kelas, ada pula yang
berlatih di teras sekolah sambil membaca puisi di bawah pohon rindang. Para
guru bahasa Madura dan pembimbing seni bekerja bahu-membahu menghidupkan
kembali ruang ekspresi anak-anak dalam bahasa mereka sendiri. Bahasa yang sudah
nyaris susah dilafalkan.
Beberapa sekolah bahkan mulai membentuk klub sastra dan kelas
tembang rutin sebagai tindak lanjut dari festival tahun-tahun sebelumnya. Di
antaranya ada yang mengadakan latihan carakan dan tembang setiap hari tertentu ,
serta klub sastra setiap hari yang lain, tempat siswa menulis, membaca, dan
memerankan karya mereka sendiri.
“Dari sini, anak-anak belajar bukan hanya berbicara dengan
baik, tapi juga memahami makna di balik kata,” ujar salah satu pembimbing
bahasa Madura. “Bahasa ibu bukan hanya alat komunikasi, melainkan jalan menuju
adab dan rasa.”
Tahun ini, kualitas penampilan peserta meningkat pesat.
Beberapa juri mengakui bahwa kemampuan mendongeng dan membaca puisi siswa
semakin ekspresif. Para peserta tidak sekadar menghafal naskah, melainkan
menjiwai peran dan pesan yang disampaikan.
Bidang pidato (32 peserta)dan baca puisi (57 peserta) menjadi
dua cabang paling diminati. Dalam dua bidang ini, keindahan bahasa berpadu
dengan irama dan intonasi yang khas. Sementara cabang lawakan tunggal
menghadirkan sisi lain dari bahasa: lucu, cair, namun tetap sarat makna sosial.
Bahasa Ibu Sebagai Wajah Kebudayaan
Lebih dari sekadar ajang prestasi, FTBI menjadi cermin
bagaimana bahasa daerah hidup di tengah anak muda. Di beberapa penampilan,
penonton bahkan terbawa suasana: tertawa bersama dalam lawakan tunggal, atau
menitikkan air mata saat puisi berbahasa Madura dibacakan dengan lirih.
“Yang paling berharga dari festival ini adalah semangatnya.
Anak-anak berani tampil dengan identitasnya sendiri,” ujar salah satu panitia
lomba.
Bagi para pendidik, festival ini adalah bukti bahwa pengajaran
bahasa ibu tak lagi cukup hanya di ruang kelas. Ia butuh ruang hidup —
panggung, karya, dan pertemuan.
Warisan yang Terus Hidup
Festival Tunas Bahasa Ibu 2025 menjadi pengingat bahwa bahasa Madura
bukan sekadar alat tutur masa lalu. Ia adalah napas kehidupan yang terus
berdenyut di ruang-ruang kelas, di panggung lomba, dan di hati para penuturnya
yang muda.
Sumenep, dengan segala keanekaragamannya, telah membuktikan
bahwa pelestarian bahasa bisa dilakukan dengan gembira, melalui seni, tawa, dan
kata-kata yang berakar pada budaya sendiri. Kegiatan serupa juga harus (semacam
wajib) dilaksanakan oleh empat kabupaten di Madura, Pamekasan, Sampang dan
Bangkalan, bahkan juga telah dilaksanakan hal serupa di dua kabupaten Situbondo-Bondowoso.
Bahasa ibu adalah identitas, sekaligus rumah yang selalu
menunggu untuk pulang.
Dan di panggung kecil SMP Negeri 3 Sumenep, rumah itu terasa hidup kembali — penuh warna, penuh suara, dan penuh harapan untuk masa depan.
