Apakah Tumbangnya Pabrik Rokok Merupakan Cara untuk Membunuh Indonesia

buku: Membunuh Indonesia, Konspirasi global penghancuran ekonomi Indonesia


Di sebuah ruang baca yang lengang, saya membuka halaman pertama buku Membunuh Indonesia: Konspirasi Global Penghancuran Kretek. Kata-kata Butet Kertaradjasa di halaman i langsung menggugah: “Sekarang budaya kretek sedang ditikam. Dan kalau pelan-pelan kebudayaan terbunuh, bisa dipastikan persekutuan kolonialis global semakin leluasa membonsai Indonesia.” Kutipan itu terasa seperti tamparan, mengingatkan bahwa perlawanan tidak hanya soal fisik, tapi juga soal budaya yang perlahan digerus.

Sejak prolog, tulisan Noe ‘Letto’ di halaman ix-xi membawa kita pada kegelisahan tentang makna kemerdekaan. Ia menyebut ada rumus baru untuk menjajah secara “halal”: bukan lagi dengan meriam, melainkan dengan cara halus yang membuat yang dijajah tak merasa dijajah. Bacaan ini segera terasa bukan sekadar laporan sejarah, melainkan semacam manifesto kultural yang mengajak pembacanya gelisah bersama.

Buku ini menelusuri jejak panjang bagaimana komoditas Nusantara, yang dahulu menjadi kebanggaan, satu per satu dilumpuhkan. Di bab awal (hlm. 3–22), penulis menceritakan kisah Sirajuddin, pengusaha minyak kelapa Mandar yang akhirnya jatuh bangkrut. Dari kejayaannya pada 1990-an, ia berubah menjadi tukang ojek di Makassar. Sebuah kisah yang tampak sederhana, tetapi memuat luka kolektif: bagaimana minyak kelapa, yang seharusnya menjadi emas hijau Nusantara, digilas oleh kampanye minyak nabati asing, terutama kedelai dari Amerika Serikat. Di halaman 5–7 kita bisa membaca kronologi perang anti-minyak kelapa, lengkap dengan kampanye besar-besaran American Soy Association yang menuduh kelapa berbahaya bagi kesehatan.

Setelah kelapa, kisah gula (hlm. 10–13) menjadi contoh lain dari kehancuran. Indonesia yang pernah menjadi produsen gula terbesar kedua di dunia, kini justru menjadi importir. Bab ini menyingkap bagaimana kebijakan IMF pada 1998, lewat letter of intent, menghapus bea masuk gula dan membuka banjir impor. Nasib petani tebu pun merosot. Membaca bagian ini, sulit menahan perasaan getir: ternyata liberalisasi yang diagung-agungkan justru membuat ekonomi rakyat tersungkur.

Lalu ada garam (hlm. 14–16), yang kisahnya tak kalah ironis. Dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, Indonesia seharusnya mandiri. Namun kampanye garam beryodium oleh Akzo Nobel, yang menggandeng UNICEF dan pemerintah, justru membuat tambak rakyat tak lagi berdaya. Garam impor dari Australia kini mendominasi hingga 70 persen kebutuhan. Membaca ini, saya teringat garam Madura yang khas—apakah nasibnya juga akan sama?

Kekayaan hayati lain, jamu, turut diceritakan (hlm. 16–21). Industri jamu yang sesungguhnya berbasis pada kearifan lokal, dipinggirkan oleh dominasi farmasi Barat. Padahal, riset terhadap herbal Indonesia minim dukungan. Ironisnya, temuan ilmuwan kita sendiri kerap “dibajak” oleh perusahaan asing, seperti kasus temulawak yang dipatenkan anak perusahaan LG di Korea Selatan (hlm. 20).

Bab-bab awal ini menyiapkan panggung bagi kisah utama: kretek. Di halaman 27, penulis mengingatkan bahwa kretek bukan sekadar rokok. Ia lahir dari inovasi seorang pribumi, Djamhari, di Kudus pada awal abad ke-20. Campuran tembakau, cengkeh, dan saus khas menjadikannya warisan budaya yang unik, berbeda dari rokok putih buatan Barat. Di banyak daerah, kretek bahkan menjadi bagian ritual sosial: suguhan dalam forum warga, penanda penghormatan, hingga simbol nasionalisme.

Kretek juga bukan komoditas lemah. Dalam Bab III (hlm. 75–96), kita diajak melihat betapa tangguhnya industri ini menghadapi krisis. Dari masa Perang Dunia I hingga krisis moneter 1998, kretek tetap menyerap tenaga kerja dan menopang ekonomi. Ketika industri lain ambruk karena bahan baku impor, kretek bertahan karena semua berasal dari bumi Nusantara: tembakau dari Temanggung, Madura, Lombok, dan cengkeh dari Maluku.

Namun kekuatan itu tidak menjamin keamanan. Di Bab IV (hlm. 105–131), penulis menyingkap medan perang global melawan tembakau. Isu kesehatan dijadikan senjata utama. WHO melalui FCTC mendorong regulasi keras, sementara perusahaan multinasional rokok putih menekan pasar. Ironisnya, pemerintah Indonesia kerap mengadopsi aturan ini mentah-mentah, tanpa memikirkan jutaan petani dan buruh kretek. Seperti ditulis di halaman 114, “Perang global melawan tembakau pada hakikatnya adalah perang kepentingan, di mana kesehatan hanyalah dalih.”

Di titik ini, buku terasa provokatif. Ia tidak menolak fakta bahwa merokok punya dampak kesehatan, tetapi menyoroti bagaimana isu kesehatan dipakai sebagai instrumen kepentingan dagang. Misalnya, farmasi global yang menjual produk nikotin alternatif diuntungkan, sementara kretek lokal ditekan habis-habisan. Pandangan semacam ini bisa membuat pembaca terbagi: antara yang menganggapnya teori konspirasi dan yang melihatnya sebagai kenyataan neokolonialisme.

Membaca hingga halaman 135, saya merasakan buku ini bukan sekadar laporan investigasi, melainkan sebuah seruan politik. Penulis mengajak pembaca mempertanyakan ulang kemerdekaan. Apakah bangsa ini benar-benar merdeka, atau hanya berpindah dari kolonialisme klasik ke kolonialisme gaya baru? Pertanyaan itu semakin menggaung ketika membaca pidato Soekarno yang dikutip di halaman 23 tentang neo-kolonialisme: “Imperialisme bisa djuga berdjalan hanja dengan ‘putar lidah’ atau tjara ‘halus-halusan’ sadja.”

Keistimewaan buku ini terletak pada keberaniannya menantang narasi besar. Ia tidak segan menyebut nama korporasi, lembaga internasional, bahkan regulasi negara sendiri yang dianggap berpihak pada asing. Namun di sisi lain, gaya penulisannya cenderung emosional. Kalimat-kalimat retoris berhamburan, membuat buku ini terasa lebih seperti pamflet perjuangan daripada kajian akademis. Di satu sisi, gaya itu membuatnya hidup dan menggugah; di sisi lain, pembaca kritis mungkin merindukan analisis kesehatan yang lebih objektif.

Meski demikian, Membunuh Indonesia berhasil menempatkan kretek dalam bingkai yang lebih luas. Ia bukan hanya soal rokok, melainkan soal harga diri bangsa. Dari halaman ke halaman, kita diajak memahami bahwa nasib kretek mencerminkan pola besar: ketika komoditas lokal berjaya, ia segera menjadi sasaran penghancuran oleh kekuatan global.

Buku ini, yang terbit pertama kali pada Desember 2011, tetap relevan dibaca hari ini. Debat tentang regulasi tembakau, rokok elektrik, dan kedaulatan petani masih berlangsung. Di tengah wacana global tentang kesehatan, suara kecil dari warung kopi Nusantara tetap bergema: suara kretek yang berderak pelan, seakan berkata bahwa identitas bangsa tak boleh dibiarkan padam begitu saja.

Akhirnya, membaca Membunuh Indonesia membuat saya sadar bahwa sebatang kretek bisa menjadi pintu untuk memahami Indonesia. Ia adalah cerita tentang ekonomi yang timpang, budaya yang digerus, dan kedaulatan yang terus diuji. Buku ini tidak hanya bicara soal rokok, melainkan soal kita—bangsa yang terlalu sering kalah di tanah sendiri.


buku tersebut bisa anda download disini: https://bukukretek.com/files/qu6f22/membunuh-indonesia.pdf

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama
Lalampan

Formulir Kontak