Saripati: Dari Pati Kita Ambil Sarinya
ESAI. K.A Dardiri Zubairi
Dari jauh saya terus mengikuti info tentang Kabupaten Pati. Kabupaten yang saya kenal melalui Rais Am PBNU KH Sahal Mahfudz, sosok yang saya kagumi. Di bumi ini pula seorang yang saya kenal tak lelah-lelah menggerakkan anak-anak muda NU untuk menguatkan kepekaan, pembelaan, simpul dan jaringan bagi gerakan kerakyatan, KH. Muhammad Imam Aziz. Dua orang guru-murid inilah yang menjadikan saya mengenal Pati.
Saya terus menunggu tanggal 13 Agustus, hari dimana warga Pati akan berkumpul di satu titik untuk menyuarakan "perlawanan" sama pejabat yang semena-mena. Awalnya kebijakan pajak Bumi Bangunan (PBB) yang naik 250%. Kemudian berkembang menjadi makin besar setelah arogansi kekuasaan dipertontonkan oleh Bupati Pati, dengan menantang secara terbuka rakyatnya sendiri. Termasuk juga menggerakkan state-apparatusnya, seperti Sekda dan Satpol-PP yang merampas hasil donasi rakyat. Inilah yang makin memantik rakyat berduyun-duyun berkumpul dan memberikan donasi di posko rakyat. Inilah juga yang memantik korlap yang berani luar biasa berhadap-hadapan dengan penguasa.
Meski Bupati sudah menyatakan kenaikan 250% PBB dibatalkan, tetap saja bekas tusukan paku yang digetok palu tidak hilang. Rakyat kadung sakit. Nyerinya dirasakan oleh sebagaian besar warga, termasuk para santri di sana.
Jika Anda melihat video tantangan Bupati Pati, pasti sepakat sangat arogan. Perilakunya kayak kaum ningrat. Orang atau kelompok yang sangat nyaman menikmati kekuasaannya. Seolah kekuasaan miliknya. Lupa kalau ia dipilih. Lupa kalau ia digaji rakyatnya.
Dengan genggaman kekuasaan ia seolah bebas membuat kebijakan semau gue. Dalam situasi sulit seperti sekarang, pajak naik apalagi hingga 250 % jelas gambaran penguasa yang sama sekali tidak memiliki kepekaan terhadap derita rakyatnya. Inilah "kekuasan bodo amat" dimana keluh dan derita rakyat tak pernah menjadi dasar lahirnya kebijakan. Rakyat cuma sebatas data statistik untuk kepentingan akumulasi kekayaan daerah yang dipimpinnya entah untuk menaikkan PAD atau agar aliran ke pejabat daerah makin besar?
Di saat kondisi politik makin mencemaskan yang ditandai dengan pembungkaman suara-suara kritis, konsolidasi TNI untuk menopang kekuasaan, hukum yang jadi permainan, wakil-wakil kita di DPR/D yang makin jauh melangit, mega korupsi yang terus berulang, dan (sementara) kondisi ekonomi-politik rakyat makin terpojok karena ruang hidup mereka dirampas, rakyat Pati telah mengajari banyak hal. Saya mencoba menuangkan sari patinya.
Pelajaran dari Perlawanan Rakyat Pati
Keberanian rakyat Pati tidak tiba-tiba. Ada endapan kesumpekan yang cukup lama pada rakyat. Momen kenaikan PBB 250% menjadi kanal terangkatnya segala endapan tadi. Arogansi bapak Bupati makin menjadikan endapan tadi tumpah tak terbendung.
Membuat simpul gerakan dengan membuka penggalangan donasi di lokasi strategis menjadi cara cerdas menegosiasikan kekuatan rakyat di hadapan kekuasaan tiranik.
Penetapan tanggal aksi yang lumayan lama sejak pembukaan donasi memungkinkan kampanye di media sosial menjadi viral dan menggugah keterlibatan publik.
Dukungan dari berbagai kalangan, termasuk pesantren, memperkuat legitimasi aksi rakyat.
Refleksi untuk Sumenep
Jika bercermin pada Pati, kota saya Sumenep, sepertinya butuh waktu panjang melakukan aksi serupa. Banyak faktor yang perlu dianalisis. Di kota saya arogansi kekuasaan tidak dalam bentuk represif, tapi hegemonik. Kekuasaan tampil dalam bentuk "menyenangkan" dan "menenangkan". Kekuasaan hadir dalam bentuk yang lebih soft sehingga mayoritas rakyat, termasuk yang well-educated, menyerahkan kepatuhannya tanpa sedikitpun mempertanyakan.
Maklum, "strong local man" memainkan perannya dalam banyak bidang: media, pendidikan, kebudayaan, kesehatan, bahkan institusi agama.
Wallahu A'lam
Sumenep, Bulan Kemerdekaan 2025
Foto: suara.com