“Di Antara Bidak dan Nada: Sebuah
Petualangan Membaca The Eight”
Saya tak pernah menyangka bahwa sebuah novel yang
tampaknya hanya tentang catur bisa membuat saya duduk selama berjam-jam, (nyaris)
lupa waktu (padahal buku ini dibaca pada saat cuti kuliah S2, ditengah terpaan
badai keuangan, dan laptop mati), dan mengajak saya mempertanyakan hal-hal yang
paling mendasar: tentang sejarah, tentang perempuan, tentang musik, bahkan
tentang angka dan alam semesta. Novel itu adalah The Eight karya
Katherine Neville—sebuah karya yang, bagi saya, lebih menyerupai simfoni
panjang daripada sekadar buku petualangan.
Awalnya saya ragu. Sebuah novel sepanjang hampir 600an
halaman, terbitan tahun 1988, dengan sampul bergaya klasik dan sinopsis yang
menyebut kata “esoterik” dan “catur legendaris”? Terus terang, saya sempat
mengira ini hanya akan jadi bacaan berat yang saya tinggalkan di halaman 65an,
mungkin. Tapi ternyata, saya salah besar.
Kisah dimulai dari dua poros waktu: satu di tahun
1790-an di Prancis, di tengah Revolusi yang bergolak, dan satu lagi di tahun
1970-an, ketika dunia baru mulai menyadari bahwa komputer bisa menjadi senjata
baru. Di masa lalu, seorang biarawati muda bernama Mireille de Rémy diam-diam
menyimpan bagian-bagian dari papan catur legendaris milik Kaisar
Charlemagne—catur yang konon mengandung kekuatan mengendalikan dunia. Di masa
kini, Catherine Velis, seorang analis komputer yang sangat rasional, dikirim ke
Aljazair untuk sebuah pekerjaan misterius yang ternyata berhubungan dengan
permainan yang sama.
Katherine Neville menganyam kisah ini dengan gaya yang
begitu cermat dan mengalir. Ia tidak sekadar menulis cerita. Ia membangun
dunia. Ia menanamkan teka-teki dalam tiap percakapan. Ia menjadikan sejarah
bukan sebagai latar belakang, tapi sebagai labirin hidup yang harus kita
masuki. Dan yang paling membuat saya tercengang: semua itu dikaitkan melalui
satu objek sederhana—papan catur.
Namun yang paling membuat saya terpaku bukanlah hanya
petualangannya. Melainkan pemikiran-pemikiran filosofis dan ilmiah yang
diselipkan di dalamnya. Salah satu adegan yang paling saya ingat adalah ketika
seorang karakter mengatakan bahwa “musik adalah bentuk dari matematika.”
Awalnya saya anggap itu hanya metafora. Tapi semakin jauh saya membaca, semakin
saya memahami bahwa Neville ingin mengatakan sesuatu yang lebih dalam. Bukan
hanya musik yang matematis. Segalanya: catur, sejarah, politik, bahkan kekuasaan…
semuanya mengikuti pola.
Saya teringat Pythagoras, yang percaya bahwa musik
yang harmonis berasal dari rasio angka yang tepat. Neville menghidupkan kembali
gagasan itu. Dalam dunia The Eight, nada bukan sekadar bunyi, tapi
bentuk fisik dari keteraturan. Dan catur, permainan yang tampak tenang di
permukaan, ternyata menyimpan pola-pola kuasa yang telah membentuk sejarah umat
manusia.
Lantas, saya mulai bertanya: apakah mungkin bahwa
revolusi, kudeta, perang, dan perebutan tahta… semua itu hanyalah
langkah-langkah dalam permainan besar yang telah dirancang sejak lama? Apakah
kita ini pemain, atau hanya bidak?
Neville tidak memberikan jawaban pasti. Ia hanya
memberi potongan-potongan puzzle dan membiarkan pembaca merangkainya sendiri.
Namun tak semua hal dalam novel ini terasa berat.
Justru di balik segala kerumitan kode dan sejarah, ada humor, ada kecerdasan
karakter, dan yang paling menyenangkan, ada narasi yang tak pernah lelah
bergerak. Setiap bab membawa saya ke tempat baru: padang pasir Aljazair yang
penuh misteri, istana kekaisaran Rusia yang megah dan mencekam, biara-biara
terpencil, dan lorong-lorong rahasia perpustakaan tua. Semuanya ditulis dengan
gaya yang kaya dan bertekstur, seperti seorang penulis yang benar-benar tahu
apa yang sedang dia ceritakan—dan tahu betul bagaimana membuat pembaca terseret
ke dalamnya.
Saya juga sangat mengapresiasi bagaimana Neville
menempatkan perempuan sebagai pusat cerita. Ini bukan cerita tentang wanita
yang menunggu diselamatkan. Catherine dan Mireille bukan hanya pintar, mereka
juga kuat, mandiri, dan tak gentar menantang kekuatan dunia yang mencoba
menekan mereka. Bahkan, Neville tampaknya ingin mengatakan bahwa kekuatan
terbesar dalam sejarah selalu tersembunyi dalam sosok perempuan yang dianggap
“tak berbahaya.”
Dalam catur, bidak perempuan—sang Ratu—adalah
satu-satunya yang bisa bergerak ke segala arah. Sebuah simbol yang tidak
main-main.
Namun saya tidak akan berpura-pura bahwa novel ini
cocok untuk semua orang. Bagi yang mencari bacaan ringan untuk sore hari di
kafe, mungkin ini akan terasa seperti perkuliahan sejarah dan matematika yang
dibungkus fiksi. Bagi yang menginginkan alur cepat seperti novel thriller pada
umumnya, The Eight mungkin terasa terlalu lambat dan penuh lompatan
waktu. Tapi bagi saya, justru di situlah kenikmatannya. Ini adalah bacaan yang
meminta kesabaran, konsentrasi, dan rasa ingin tahu. Dan seperti permainan
catur yang baik, hasilnya hanya akan memuaskan bagi mereka yang bersedia
berpikir sampai akhir.
Saya menutup buku ini dengan rasa yang aneh. Antara
kenyang dan lapar. Kenyang karena begitu banyak yang saya dapatkan—pengetahuan,
petualangan, wawasan baru. Lapar karena saya tahu, seperti papan catur, dunia
yang ditawarkan Neville belum sepenuhnya saya pahami. Saya ingin membacanya
lagi. Mungkin dengan kacamata yang berbeda. Mungkin dengan musik Bach di latar
belakang, karena saya yakin—jika Neville benar—komposisi musik klasik bisa
menjadi kunci untuk memahami logika catur dan rahasia kekuasaan yang tersembunyi.
Jika Anda pernah merasa bahwa dunia ini terlalu rumit,
dan Anda ingin menemukan benang merah yang mengikat semuanya, bacalah The
Eight. Novel ini bukan hanya fiksi. Ia adalah undangan untuk melihat dunia
sebagai jaringan pola, permainan, dan—siapa tahu—misteri yang bisa Anda
pecahkan sendiri.
Dan ketika Anda selesai membacanya, mungkin Anda pun
akan mulai memperhatikan: bahwa setiap langkah, setiap keputusan, bahkan setiap
nada yang terdengar di udara… semuanya mungkin bagian dari permainan besar yang
sedang berlangsung.
Selamat datang di permainan. Selamat datang di The Eight.