3. KAMPUS UK : GELOMBANG DI KALISANAT
Matahari siang membakar dermaga tua di tepi Kota
Kalisanat. Asap tipis mengepul dari kapal-kapal nelayan yang berjejer,
menandakan mesin-mesin mereka baru saja dipadamkan. Aku berdiri di ujung
dermaga, menatap air laut yang perlahan berubah warna—dari biru kehijauan
menjadi keruh kecokelatan. Sesuatu sedang terjadi.
Dari penelitian sementara, aku dan beberapa teman
menemukan bahwa kandungan logam berat dan limbah industri di perairan
sekitar kota meningkat tajam dalam beberapa bulan terakhir. Ini bukan hal
biasa. Ada yang sengaja membuang limbah ke laut, atau mungkin proyek reklamasi
yang sedang berlangsung diam-diam mengorbankan lingkungan pesisir.
"Ini bukan sekadar spekulasi," kata Rafi,
temanku yang mengambil jurusan Teknik Lingkungan. "Sampel yang kita ambil
dari perairan dekat proyek pembangunan itu mengandung tingkat merkuri yang
tidak masuk akal."
Aku menggenggam hasil lab yang baru kami dapatkan tadi
pagi. Angka-angka di sana tidak bisa dibohongi. Jika ini terus dibiarkan, ikan-ikan
yang ditangkap nelayan bisa berbahaya untuk dikonsumsi, dan lebih parahnya
lagi, produksi garam yang menjadi warisan Kalisanat bisa terancam.
"Kita harus bicara dengan dosen," ujarku,
mencoba berpikir jernih.
Tapi Rafi menggeleng. "Bukan cuma dosen. Kita
harus mencari tahu siapa yang ada di balik semua ini."
Aku terdiam. Di kepalaku, satu nama muncul—PT. Sanatroga,
perusahaan besar yang sejak awal mendanai proyek reklamasi di Kalisanat.
Di kejauhan, aku melihat beberapa orang berbaju hitam berdiri di dekat mobil hitam mengkilap. Mereka menatap ke arah kami.
***
Kami memutuskan untuk berpura-pura tidak melihat
mereka dan berjalan ke arah pasar ikan. Suasana di sana ramai seperti biasa,
pedagang berteriak menawarkan hasil tangkapan terbaik mereka. Tapi aku tidak
bisa mengabaikan kegelisahan yang mengendap di benakku.
"Apa kita terlalu mencolok?" tanyaku lirih.
Rafi menyipitkan mata ke arah mobil hitam tadi.
"Mungkin. Tapi kita tidak bisa mundur sekarang."
Kami terus berjalan hingga mencapai warung kecil di
pojokan pasar. Seorang pria tua dengan rambut memutih duduk di dalam, tangannya
sibuk membetulkan jaring ikan yang sudah usang. Ia adalah Pak Hasan, nelayan
yang sudah puluhan tahun melaut di Kalisanat.
"Pak Hasan, kami ingin bertanya soal kondisi laut
akhir-akhir ini," kataku setelah memesan dua gelas teh hangat.
Pak Hasan menghela napas panjang. "Air laut
berubah. Ikan makin sulit didapat. Ada sesuatu di bawah sana yang merusak
semuanya."
Aku dan Rafi saling pandang. "Apa bapak tahu soal
proyek reklamasi itu?" tanya Rafi hati-hati.
Pak Hasan menatap ke luar warung, lalu mendekat ke
arah kami. Suaranya merendah. "Aku tidak tahu banyak. Tapi ada kapal besar
yang sering datang malam-malam. Mereka menumpahkan sesuatu ke laut. Kami
nelayan dilarang mendekat. Ada yang coba merekam, tapi katanya video mereka
dihapus paksa oleh orang-orang proyek."
Darahku berdesir. Ini jauh lebih besar dari yang kami
kira.
"Kalau kalian mau tahu lebih banyak, carilah Pak
Sudarmo. Dulu dia kerja di proyek itu, tapi sekarang dia menghilang.
Orang-orang bilang dia pergi dari kota ini, tapi aku yakin dia masih di
sini."
Malam itu, aku duduk di kamar asramaku, mencoba
menyusun rencana. Nama Pak Sudarmo kini menjadi kunci utama. Jika benar
dia pernah bekerja di proyek itu dan tahu sesuatu, kami harus menemukannya.
Rafi mengirim pesan.
Rafi: Aku coba cari info soal
Pak Sudarmo. Seorang temanku bilang dia terakhir terlihat di sekitar Pelabuhan
Lama.
Aku mengetik cepat.
Aku: Besok kita ke sana.
Tapi belum sempat aku menaruh ponsel, ada pesan lain
masuk.
Nomor Tidak Dikenal: Berhenti mencari
masalah, atau kalian yang akan jadi masalah.
Aku menelan ludah. Sesuatu memberitahuku bahwa ini baru permulaan.
Maos jugan