Sepotong Burdah di Pelantikan Ansor Sumenep


Bluto, Sumenep – lalampan.com  Angin sore yang sejuk menyapu pelataran Pondok Pesantren Nasyrul Ulum Aengdake, ketika ratusan kader Gerakan Pemuda Ansor berkumpul menyambut pelantikan Pengurus Cabang GP Ansor Sumenep, Ahad (18/05/2025). Di tengah suasana penuh semangat dan haru, Ketua Pimpinan Wilayah GP Ansor Jawa Timur, Musyaffak Syafril, menyampaikan sambutan yang tak biasa—ia memulai dengan sebuah mimpi.

"Satu hari menjelang pelantikan ini," ucap beliau di hadapan para kader, "saya bermimpi membacakan satu bait Burdah:"

نَعَــمْ سَرَى طَيْفُ مَنْ أَهْوَى فَأَرَّقَنِيْ ۞ وَالْحُبُّ يَعْتَرِضُ اللَّذَّاتِ بِالْأَلَــمِ

"Memang benar, bayangan orang yang saya cintai selalu hadir membangunkan tidurku untuk terjaga. Dan memang cinta adalah penghalang bagi seseorang terhadap kenikmatan, karena ia membawa rasa sakit."

Bait Burdah ini tak sekadar syair, melainkan refleksi dari rindu yang mendalam. Sebagai putra asli Sumenep yang lahir dan dibesarkan di tanah ini, Musyaffak mengaku bahwa setiap jengkal bumi Madura adalah bagian dari hatinya. Namun cinta yang lain, cinta kepada organisasi, kepada perjuangan kaderisasi, dan kepada tanggung jawabnya sebagai ketua PW GP Ansor, telah menjadi penghalang dirinya untuk pulang sepenuhnya.

"Saya mungkin jarang pulang. Tapi bukan karena tak cinta. Justru karena cinta ini terlalu dalam, saya harus memilih jalan juang," lanjut beliau dengan suara berat namun penuh keyakinan.

Kehadiran Musyafak Sjafril dalam pelantikan ini bukan hanya sebagai seremoni administratif, tetapi juga menjadi momentum spiritual dan emosional bagi kader Ansor Sumenep. Ia datang bukan sekadar meresmikan kepengurusan baru, tetapi membagikan sepotong hatinya—rasa cinta dan tanggung jawab yang tak terbagi.

Sambutannya bukan retorika politik atau laporan kinerja. Tapi kisah tentang mahabbah—cinta kepada tanah kelahiran dan cinta kepada gerakan. Dua cinta yang saling tarik-menarik, saling menguji.

Dan mungkin dari mimpi tentang Burdah itu, kita belajar bahwa perjuangan tidak selalu tentang gemuruh langkah kaki, tetapi kadang tentang air mata yang tertahan, dan kerinduan yang disimpan dalam diam.

Siang itu, di Aengdake, para kader Ansor tak hanya dilantik untuk mengemban amanah organisasi. Mereka juga diwarisi satu hal yang lebih dalam: pelajaran tentang cinta yang rela berkorban. Seperti Musyafak Sjafril, yang memilih untuk mencintai dengan cara yang sunyi—dan justru karena itu, cinta itu tumbuh abadi.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak