Proses
Kreatif K.H D. Zawawi Imron
Tulisan
ini disampaikan pada pembacaan sajak-sajak Celurit Emas, pada tanggal 22
November 1984 di Teater Arena Taman Ismail Marzuki Jakarta.
Saya
harus merasa beruntung dilahirkan dan dibesarkan di tengah-tengah keluarga
miskin, di ujung timur pulau Madura, meskipun dengan kemiskinan itu setelah
tamat SD saya tidak bisa melanjutkan sekolah ke kota. Saya harus hidup dnegan
menu sehari-hari berupa nasi gaplek dan ulam daun dadap. Saya pernah bekerja
sebagai kuli yang mengangkut kantong daun siwalan dari gudang dan menaikkannya
ke atas truk. Saya juga pernah mengumpulkan batu-batu untuk menghampari jalan.
Saat
itu ada yang tak terelakkan, yaitu keakraban dengan kaum jelata sekampung,
karena kami telah menempuh hidup dengan cara yang unik, yaitu tetap tersenyum meski
menderita. Pengalaman masa remaja itu memang menyakitkan ketika dialami, tetapi
terasa nikmat bila saya kenangkan sekarang. Namun tidak semua kenangan lama itu
menikmatkan. Kadang-kadang ada peristiwa masa lampau itu yang lebih menyakitkan
bila dikenang sekarang. Antara lain, ketika saya pulang dari pesantren untuk
menyaksikan keramaian memperingati HUT Kemerdekaan R.I tanggal 17 Agustus 1960.
Waktu itu pertama kali ada perintah (setengah tekanan), setiap rumah yang
terlihat dari jalan besar harus mengibarkan bendera kain, tidak boleh bendera
kertas. Ibu saya jangankan beli bendera, bajunya sendiri sudah bertambal-tambal
tidak diganti. Ibu membuat bendera yang merahnya dari baju bekas saya, sedang
putihnya dari sarung bekas ibu yang sudah tidak terpakai. Ibu menjahitnya
dengan rajin sehingga tambalan-tambalannya tidak kentara. Waktu itu saya
terharu. Tapi lebih terharu lagi bila bendera itu saya ingat sekarang. Bendera
yang satu ini kadang-kadang berkibar dalam kenangan dengan hebatnya sehingga
saya naik ke puncak keharuan. Saya menjadi menderita dahaga rohani. Dahaga rohani yang membuat saya harus
menyebut-nyebut nama Tuhan.
***
Saya
sendiri kurang tahu persis mengapa saya harus menulis sajak. Tetapi setiap ada
getaran-getaran dalam diri saya, merasa tidak enak kalau tidak menuliskannya,
misalnya ketika dalam perjalanan tidak membawa bolpoint dan kertas, saya merasa
sangat menyesal. Bahkan seperti dihantui rasa berdosa kepada diri sendiri.
Akhirnya, menulis sajak bagi saya merupakan keasyikan pribadi yang tersendiri.
Dengan bersajak saya merasa lebih akrab dengan diri sendiri, orang lain, alam
dan Tuhan
***
Sering
saya memasuki dusun-dusun di daerah saya. Kadang sya dengan nyanyian
gadis-gadis desa mencari kayu bakar di tengah belukar, atau saya dengan siul
para pemanjat pohon siwalan di senjahari, atau percakapan orang-orang desa
tentang nasib dan kepahitan hidupnya, lalu saya ingin menyanyi seperti mereka,
ingin bersiul seperti mereka dan ingin berbicara seperti mereka, tentu saja
dalam puisi.
***
Keberanian
orang-orang Madura berlayar ke pulau-pulau yang jauh dengan perahu-perahu kecil
seperti yang pernah dipakai nenekmoyang pada abad-abad yang lalu, ketabahan
mereka dalam menghadapi kenyataan hidup sehari-hari dan ketekunan mereka
memelihara sapi karapan dengan kasih sayang seperti yang mereka curahkan kepada
anak-anaknya sendiri, membuat saya selalu bertanya kepada diri sendiri:
mungkinkah saya salah satu sapi karapan yang dibesarkan oleh senyum dan airmata
mereka?
***
Ada
semacam perasaan bahagia yang tersendiri dalam kehidupan bersajak, di mana saya
sering berhadapan dengan aneka rahasia dan teka-teki yang mengasyikkan untuk
disingkap. Adakalanya saya berhasil membuka sebagian saja wajah teka-teki itu,
tapi adakalanya pula saya kehilangan jejak karena rahasia dan teka-teki itu
secara tiba-tiba menghilang dari jangkauan ingatan atau kenangan. Dalam begini
saya sering diganggu kegelisahan batin. Tapi hal-hal yang tak terduga
kadang-kadang datang, yaitu datangnya getaran-getaran lain yang selama ini masih
mengeram dalam rimba bahwa sadar. Getaran-getaran ini mungkin teka-teki yang
dulu pernah saya kejar dan saya geluti dengan otak dan perasaan.
***
Dalam
pergulatan hidup ini saya lebih banyak menghayati meskipun saya berusaha banyak
untuk mengerti. Latar belakang
pendidikan saya dan pengetahuan saya tentang filsafat yang hanya
sepotong-sepotong, lebih sesuai dengan yang disebut pertama dari pada yang
kedua. Dengan penghayatan, saya bisa
merasakan nasi jagung sayur kelor sambal terasi bisa lebih nikmat dari makan
bubur ayam di Hotel Indonesia ketika saya ditraktir Slamet Sukirnanto. Dengan
penghayatan, berjabattangan dnegan penyabit rumput bisa lebih bangga dari pada
berjabattangan dengan Lady Diana atau Ronald Reagan. Dengan penghayatan ini
saya tak usah merokok ganja atau menyuntikkan morfin ke bagian tubuh untuk
merasakan puncak-puncak kenikmatan.
Ada
seorang teman yang meragukan bahwa sikap saya ini bukan hasil penghayatan. Tapi
bahnya karena jiwa saya terlalu mabuk dan melekat pada lingkungan tempurung desa
sehingga saya terperosok ke sebuah jurang yang sangat sempit. Seandainya dugaan
teman saya itu benar, saya tidak akan menyesal, karena saya telah memilih apa
yang saya sukai tanpa tekanan, serta dengan I’tikad baik tidak untuk merugikan
orang lain. Dengan sikap ini setidak-tidaknya saya bisa membebaskan diri dari
ancaman buldozer-buldozer spiritiual.
***
Setelah
saya fikir, kaya dan miskin itu sama ada resikonya. Kalau saya boleh menghibur
diri (karena telanjur miskin), sama-sama menanggung resiko saya memilih
kemiskinan. Kegetiran hidup bila dihadapi dengan sikap wajar dan arif, akan
menunjukan padang-padang dan hutan-hutan imajinasi yang teramat luas sebagai
tempat perburuan dan petualangan dengan panorama-panorama yang maha indah dan
juga maha mengerikan. Setidak-tidaknya dengan kemiskinan itu kesempatan saya
untuk berkontemplasi, mengawinkan kata-kata dengan imaji jauh lebih luas.
Dan
kepenyairan bagi saya bukan sesuatu yang istimewa. Seorang penyair bagi saya
sama saja dengan penyabit rumput. Kalau saya ditanya, untuk apa saya bersajak,
jawab saya cukup meniru jawaban penyabit rumput kalau ditanya, buat apa ia
menyabit. Ia tidak akan menjawab: “Saya menyabit rumput untuk memakmurkan
negara melalui sektor peternakan.” Jawaban begitu terasa canggih dan bau
slogan. Seorang penyabit rumput di desa saya akan menjawab, bahwa ia menyabit
agar sapinya gemuk, kalau dijual nanti laku mahal dan kalau dipacu larinya
kencang. Soal dengan menyabit rumput itu ada empat ekor sapi setiap tahun yang
ia jual ke pasar, dan digabung dengan sapi-sapi yang lain mengakibatkan
makmurnya dunia peternakan, itu soal lain yang akan ia syukuri.
Saya
berpuisi untuk mengekspresikan diri dan berkomunikasi. Saya harus mampu
berlapang dada kalau sajak saya ditolak orang, dan saya harus bersikap wajar
kalau ada sebuah sajak saya yang bisa diterima orang lain. Tak ada otoritas
dalam dunia kepenyairan. Saya harus banyak intropeksi dan meminta nasehat
teman-teman, agar saya dengan kepenyairan ini tidak terperosok ke dalam dunia
popularitas yang pada hakikatnya tak ada gunanya.
***
Setelah
agak banyak bergaul dengan puisi, saya mulai tahu bahwa yang dimaksud dengan
kegetiran bukan hanya penderitaan pribadi. Melihat atau mendengar tentang
penindasan yang terjadi di sudut-sudut dunia, kelaparan yang pernah melanda
Sikka, bencana Galunggung, kemarau panjang di Angola dan sekitarnya, dan sekian
ribu kera tidur tak beratap di ketiak kota-kota, hati saya sakit dan dahaga.
Saya harus mengejek diri sendiri karena tidak punya tindakan nyata yang
langsung mengangkut perbaikan hidup mereka. Akhirnya saya mulai mengerti,
karena relative saya pernah miskin dan menderita, bahwa dalam kemiskinan dan
penderitaan yang bagaimana pun mereka masih punya kebahagiaan rohani yang tidak
kalah dengan orang-orang yang berharta. Dalam derita mereka masih juga sempat
tersenyum. Tapi senyum yang lahir dari derita itulah yang sangat menyakitkan
perasaan saya. Kesakitan begini secara diam-diam bersenyawa dengan
misteri-misteri kebesaran Tuhan, dan akhirnya bergumpal menjadi religiositas
yang memperkaya dimensi spiritual dan sekaligus memperluas samudra imajinasi.
Dalam
mengarungi dunia kepenyairan ini saya mengidentifikasikan diri dengan sapi
karapan. Sapi karapan yang saya maksud bukan yang biasa ditampilkan di
kota-kota di pulau Madura, di mana dua pasang sapi diadu kecepatan larinya,
mana yang lebih dulu tiba di finis akan keluar sebagai pemenang dan mendapat
hadiah. Karapan sapi yang saya maksudkan ialah yang saya jumpai di desa-desa
terpencil yang sapinya lari tanpa lawan berpacu. Semua penonton mengukur
kecepatan larinya dengan ketajaman indera keenam. Karapan seperti ini tak ada
pemenang dan tak ada yang kalah, karena masing-masing pasangan sapi berpacu
melawan dirinya sendiri.
Bagai
karapan sapi tradisional itu saya berpacu melawan diri sendiri dicambuk dengan
kegetiran di atas padang imajinasi. Tidak setiap imaji yang saya tangkap bisa
diungkap menjadi sajak. sering berperang menolak dan melawan imaji-imaji itu
apabila kehadirannya hanya sebagai perawan mandul yang tak bisa membiakkan
benih.
***
Konon,
penyakit darah tinggi itu ada relevansinya dengan garam. Benarkah orang Madura
cepat naik darah karena di pulau itu diproduksi sekian ribu ton garam setiap
tahun? Saya tidak tahu persis. Tapi kondisi alam yang keras dan gersang tentu
tidak bisa dihadapi dengan sikap santai dan bermalas-malas. Untuk menghadapi
kekerasan alam itu dibutuhkan enerjisitas. Dan enerjetik yang salah arah, bisa
juga menimbulkan barbarism.
Untunglah
di pulau itu masih ada ulama-ulama yang jujur sebagai sesepuh masyarakat
sehingga fatwa-fatwanya menjadi air pendingin. Ditambah lagi dengan lagu-lagu
dan syair yang bisa menghaluskan perasaan. Seandainya tidak, pulau itu mungkin
akan semakin amis oleh darah.
Tapi
sekelompok manusia yang disebut masyarakat atau suku bangsa, selama sekian
ratus tahun telah berangkat dengan nilai-nilai tertentu. Nilai-nilai itu tentu
sudah diuji oleh sejarah. Dan tidak lucunya, kadang-kadang yang disebut
nilai-nilai atau norma-norma itu hanya hasil kesepakatan saja. Kesepakatan itu
kemudian disebut tradisi atau juga konvensi. Hal itu seyogyanya tidak usah
terburu-buru kita beri nilai buruk atau baik, karena kenyataan kehidupan modern
pun lebih ekstrim lagi berdasar semacam kesepakatan juga. Bayangkan kalau
prostitusi sudah memasuki tempat-tempat terhormat, korupsi dikerjakan segairah
mementaskan kesenian dan kaum intelektual tidak merasa malu menjadi pelacur
atau pembelot. Ditambah lagi dengan para moralis yang bungkam, meski
kebungkamannya belum tentu berarti setuju.
Dalam
konteks seperti ini, saya ingin menyebut celurit. Senjata itu sejak kecil saya
benci, lama-lama saya senangi karena mirip tanda Tanya. Tanda Tanya adalah
milik orang-orang kreatif yang selalu bertanya dan ingin tahu. Dipandang dari
sudut budaya ia bisa lebih penting dari tanda seru yang mirip pentungan karet.
Tanda seru adalah milik orang-orang yang lemah yang selalu meminta dan meinta,
atau juga milik orang-orang otoriter yang kerjanya hanya menyuruh dan
membentak.
Seorang
Madura dari kalangan tradisional mengatakan, “Tulang rusuk laki-laki barisan
kiri itu kurang jumlahnya, tidak lengkap seperti barisan tulang rusuk bagian
kanan, karena sepotong tulang sudah diambil dan dijelmakan menjadi perempuan.
untuk memenuhi kekurangan itu, seorang laki-laki akan utuh setelah dilengkapi
besi bengkok mirip tulang rusak.”
Besi bengkok yang mirip tulang rusuk sudah tentu celurit. Senjata ini kemudian lambang kejantanan. Tetap celurit emas bukan lambang kejantanan. Celurit senjata tradisional Madura itu sudah saya hancurkan, saya lebur dalam kawah religiositas dan spiritual saya, lalu saya campurkan dengan tangis orang-orang terhina, saya luluhkan dengan darah dan jiaw para pahlawan dan berjuta kasus kemanusiaan lainnya sehingga menjelmalah jadi celurit kebijaksanaan.
Kalau
celurit emas itu dihantamkan kepada orang yang benar, jangan terluka, merasa
sakit pun tidak. Tapi kalau terhadap pengkhianat, pemeras, penindas, penghisap
dan sebangsanya, maka celurit emas itu akan terbang tanpa disuruh, dan ia akan
menyelesaikan persoalan sesuai dengan hakikat kebenaran. Ia dirindukan
orang-orang sebagaimana orang-orang keristen merindukan kembalinya Keristus.
Tapi
mungkin celurit emas itu hanya utopia seorang penyair yang mencoba menyalangkan
mata untuk masa depan.
***
Memasuki
dekade tahun 80-an imajinasi saya sering dibayangi benda-benda tajam, seperti
duri, jarum, pisau, ranjau, pedang dan celurit. Kalau rasa pubertas seorang
remaja banyak menyalurkan cinta dan gairahnya lewat imaji bunga, warna biru dan lain-lain, maka
kegemaran sya yang menggila setelah meminum arak dari danau kegetiran dan
kekecewaan selalu mencari relevansi pada benda-benda tajam. Menyebut
benda-benda itu dalam momen puitik yang relevan seperti menemukan kebebasan- kebebasan
rohani tak terduga.
Menyebut
benda-benda tajam itu dengan khusyuk seakan memandang telunjuk- telunjuk ajaib
yang menunjukkan baying-bayang kasih dan ridla Tuhan. Kadang-kadang benda-benda
tajam itu menusuk dan melukai agar roh saya yang mengidentifikasikan diri dengan
sapi karapan itu semakin kencang larinya untuk mengejar diri sendiri yang
berpecahan menjadi kata-kata dan akan lari ke dalam kefanaan.
Itulah
mengapa saya masih ingin menulis sajak, kalau tidak untuk dipublikasikan
minimal untuk dibaca sendiri. Tapi semakin banyak saya menghasilkan sajak,
semakin sukar saya menulis sajak-sajak baru. Mungkin karena menulis sajak harus
berperang melawan ketidakjujuran. Dan saya yakin, sebuah sajak yang saya tulis
tanpa kejujuran hati nurani tak akan pernah mampu mengarungi perjalanan waktu
sehingga tak akan punya nilai abadi.
D.
Zawawi Imron.--***